GANGGUAN KEAMANAN DAN PENANGGULANGANNYA
Amir
Syarifuddin mengecam hasil Perjanjian Renville dan menyusun kekuatan dalam
Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dibentuk pada tanggal 26 Februari 1948 di
Surakarta, Front ini menyatukan semua golongan sosialis kiri dan komunis.
Kekuatan PKI makin bertambah besar setelah kedatangan Musso dari Uni Soviet.
Muso menyusun doktrin PKI dengan nama Jalan
Baru dengan dibentuknya Front Nasional, yaitu penggabungan segala kekuatan
sosial, politik, dan perorangan yang berjiwa antiimperialistis dan untuk
menjamin kelangsungan Front Nasional maka dibentuklah Kabinet Front Nasional
yang terdiri dari PKI, Partai Sosialis, dan Partai Buruh Indonesia. Selain itu,
didukung pula oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Insiden di Delanggu menjadi insiden bersenjata di kota
Surakarta antara pendukung Front Demokrasi Rakyat dengan kelompok Tan Malaka
yang bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat, maupun dengan pasukan hijrah TNI.
Insiden-insiden memang telah direncanakan oleh PKI yang bertujuan daerah
Surakarta dijadikan daerah kacau ( wild west), sedangkan daerah Madiun
dijadikan basis gerilya. Aksi PKI memuncak pada tanggal 18 September 1948
dengan ditandai para tokoh PKI mengumumkan berdirinya Soviet Republik
Indonesia. Tindakan itu bertujuan untuk meruntuhkan Republik Indonesia hasil
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan
ajaran komunis. Panglima Besar Jenderal Soedirman langsung mengeluarkan
perintah untuk merebut Madiun kembali. Panglima Besar Jenderal Soedirman
memerintahkan Kolonel Gatot Subroto dari Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono dari
Jawa Timur untuk memimpin penumpasan terhadap kaum pemberontak. Musso akhirnya
tertembak mati, dan Amir Syarifuddin berhasil ditangkap dihutan Ngrambe,
Grobogan, Purwodadi dan kemudian dihukum mati di Yogyakarta. Pemberontakan PKI
di Madiun telah berhasil ditumpas, namun bangsa Indonesia masih harus
menghadapi Belanda yang berusaha menegakkan kembali Pemerintahannya di
Indonesia.
Pemberontakan Darul Islam/ Tentara
Islam Indonesia (DI/TII) terjadi di empat daerah, yaitu :
1. DI/TII Jawa Barat
Sekar Marijan Kartosuwiryo
mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang penjajah Belanda di
Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat, Kartosuwiryo memproklamasikan
berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949 dan
tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan
operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis.
Pada tanggal 4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan
Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi
hukuman mati 16 Agustus 1962.
2. DI/TII Jawa Tengah
Gerakan DI/TII juga menyebar ke Jawa
Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah yang dipimpin
oleh Amir Fatah di bagian utara, yang bergerak di daerah Tegal, Brebes dan
Pekalongan. Setelah bergabung dengan Kartosuwiryo, Amir Fatah kemudian diangkat
sebagai komandan pertemburan Jawa Tengah
dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara
Islam Indonesia. Untuk menghancurkan gerakan ini, Januari 1950 dibentuk
Komando Gerakan Banteng Negara (GBN) dibawah Letkol Sarbini. Pemberontakan di
Kebumen dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Moh.
Mahfudz Abdulrachman (Romo Pusat atau Kiai Sumolanggu) Gerakan ini berhasil
dihancurkan pada tahun 1957 dengan operasi militer yang disebut Operasi Gerakan
Banteng Nasional dari Divisi Diponegoro. Gerakan DI/TII itu pernah menjadi kuat
karena pemberontakan Batalion 426 di Kedu dan Magelang/ Divisi Diponegoro.
Didaerah Merapi-Merbabu juga telah terjadi kerusuhan-kerusuhan yang dilancarkan
oleh Gerakan oleh Gerakan Merapi-Merbabu Complex (MMC). Gerakan ini juga dapat
dihancurkan. Untuk menumpas gerakan DI/TII di daerah Gerakan Banteng Nasional
dilancarkan operasi Banteng Raiders.
3. DI/TII Aceh
Adanya
berbagai masalah antara lain masalah otonomi daerah, pertentangan
antargolongan, serta rehabilitasi dan modernisasi daerah yang tidak lancar
menjadi penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII di Aceh. Gerakan DI/TII di
Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh yang pada tanggal 20 September 1953
memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia dibawah
pimpinan Kartosuwiryo. Pemberontakan DI/TII di Aceh diselesaikan dengan
kombonasi operasi militer dan musyawarah. Hasil nyata dari musyawarah tersebut
ialah pulihnya kembali keamanan di daerah Aceh.
4. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemerintah berencana membubarkan
Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke
masyarakat. Tenyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi
Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak
diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah
mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan
Tetorium VII, Kahar Muzakar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan
dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar
mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai
bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari
1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.
Pada bulan Januari 1950 di Jawa Barat di kalangan KNIL
timbul Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Kapten Westerling.
Tujuan APRA adalah mempertahankan bentuk Negara Federal Pasundan di Indonesia
dan mempertahankan adanya tentara sendiri pada setiap negara bagian Republik
Indonesia Serikat. APRA mengajukan ultimatum menuntut supaya APRA diakui
sebagai Tentara Pasundan dan menolak
dibubarkannya Pasundan/negara Federal tersebut. Ultimatum ini tidak ditanggapi
oleh pemerintah, maka pada tanggal 23 Januari 1950 di Bandung APRA melancarkan
teror, APRA berhasil ditumpas. Ternyata dalang gerakan APRA ini berada di
Jakarta, yakni Sultan Hamid II. Rencana gerakannya di Jakarta ialah menangkap
beberapa menteri Republik Indonesia Serikat yang sedang menghadiri sidang
kabinet dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Sekertaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepada
Staf Angkatan Perang Kolonel T.B Simatupang. Rencana tersebut berhasil
diketahui dan diambil tindakan preventif, sehingga sidang kabinet ditunda.
Sultan Hamid II berhasil ditangkap pada tanggal 4 April 1950. Akan tetapi,
Westerling berhasil melarikan diri ke luar negeri.
Adapun faktor yang menyebabkan pemberontakan adalah :
1. Menuntut agar pasukan bekas KNIL
saja yang bertanggung jawab atas keamanan di Negara Indonesia Timur.
2. Menentang masuknya pasukan APRIS
dari TNI
3. Mempertahankan tetap berdirinya
Negara Indonesia Timur.
Karena
tindakan Andi Azis tersebut maka pemerintah pusat bertindak tegas. Pada tanggal
8 April 1950 dikeluarkan ultimatum bahwa dalam waktu 4 x 24 jam Andi Azis harus
melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,
pasukannya harus dikonsinyasi, senjata-senjata dikembalikan, dan semua tawanan
harus dilepaskan. Kedatangan pasukan pimpinan Worang kemudian disusul oleh
pasukan ekspedisi yang dipimpin oleh Kolonel A.E Kawilarang pada tanggal 26
April 1950 dengan kekuatan dua brigade dan satu batalion di antaranya adalah
Brigade Mataram yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto. Kapten Andi Azis
dihadapkan ke Pengadilan Militer di Yogyakarta untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
Pada tanggal
25 April 1950 di Ambon diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS)
yang dilakukan oleh Dr. Ch. R. S. Soumokil mantan Jaksa Agung Negara Indonesia
Timur. Soumokil sebenarnya terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Namun,
setelah gagalnya gerakan itu ia melarikan diri ke Maluku Tengah dengan Ambon
sebagai pusat kegiatannya. Untuk itu pemerintah mengutus Dr. Leimena untuk
mengajak berunding. Misi Leimena tidak berhasil karena RMS menolak untuk
berunding. Pemerintah bertindak tegas, pasukan ekspedisi di bawah pimpinan
Kolonel A. E. Kawilarang dikirimkan ke Ambon. Dalam pertempuran memperebutkan
benteng New Victoria, Letkol Slamet Riyadi tertembak dan gugur. Pada tanggal 28
September 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon dan bagian utara pulau itu
berhasil dikuasai. Tanggal 2 Desember 1963 Dr. Soumokil berhasil ditangkap
selanjutnya tanggal 21 April 1964 diadili oleh Mahkamah Militer Laut Luar Biasa
dan dijatuhi hukuman mati.
Pemberontakan PRRI/Permesta didahului dengan
pembentukan dewan-dewan di beberapa daerah di Sumatera, antara lain Dewan
Banteng di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Achmad Husein (20 Desember 1956)
; Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon (22 Desember 1956) dan
Dewan Manguni di Manado oleh Letnan Kolonel Ventje Sumuai (18 Februari 1957).
Tanggal 10 1958 didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel
Achamad Husein. Gerakan Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan
Syafruddin Prawiranegara sebagai pejabat presiden. Permesta (Perjuangan Rakyat
Semesta) pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI sehingga
gerakan bersama itu disebut PRRI/Permesta. Permesta yang berpusat di Manado
tokohnya adalah Letnan Kolonel Vantje Sumual, Mayor Gerungan, Mayor Runturambi,
Letnan Kolonel D.J. Samba, dan Letnan Kolonel Saleh Lahade.
Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta
dilaksanakan operasi gabungan yang terdiri atas unsur-unsur darat, laut, udara,
dan kepolisian. Serangkaian operasi yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Operasi Tegas dengan sasaran Riau
dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution. Tujuan mengamankan instansi dan
berhasil menguasai kota. Pekanbaru pada tanggal 12 Maret 1958.
2. Operasi 17 Agustus dengan sasaran
Sumatera Barat dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani berhasil menguasai kota Padang
pada tanggal 17 April 1958 dan menguasai Bukittinggi 21 Mei 1958.
3. Operasi Saptamarga dengan sasaran
Sumatera Utara dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
4. Operasi Sadar dengan sasaran
Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Dr. Ibnu Sutowo.
5. Operasi gabungan dengan nama Merdeka
di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat, yang terdiri dari :
a)
Operasi
Saptamarga I dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah, dipimpin oleh Letkol
Sumarsono.
b)
Operasi
Saptamarga II dengan sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan, dipimpin oleh
Letkol Agus Prasmono.
c)
Operasi
Saptamarga III dengan sasaran Kepulauan Sebelah Utara Manado, dipimpin oleh
Letkol Magenda.
d)
Operasi
Saptamarga IV dengan sasaran Sulawesi Utara, dipimpin oleh Letkol Rukminto
Hendraningrat
·
Organisasi Papua Merdeka
Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah sebuah gerakan
separatis yang didirikan tahun 1965 yang bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan
Papua bagian barat dari pemerintahan Indonesia. Sebelum era reformasi, provinsi
yang sekarang terdiri atas Papua dan Papua Barat ini dipanggil dengan nama
Irian Jaya.
OPM merasa bahwa mereka tidak
memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain maupun
negara-negara Asia lainnya. Penyatuan wilayah ini ke dalam NKRI sejak tahun
1969 merupakan buah perjanjian antara Belanda dengan Indonesia dimana pihak
Belanda menyerahkan wilayah tersebut yang selama ini dikuasainya kepada bekas
jajahannya yang merdeka, Indonesia. Perjanjian tersebut oleh OPM dianggap
sebagai penyerahan dari tangan satu penjajah kepada yang lain.
Pada tanggal 1 Juli 1971, Nicolaas
Jouwe dan dua komandan OPM yang lain, Seth Jafeth Raemkorem dan Jacob Hendrik
Prai menaikkan bendera Bintang Fajar dan memproklamasikan berdirinya Republik
Papua Barat. Namun republik ini berumur pendek karena segera ditumpas oleh militer
Indonesia dibawah perintah Presiden Soeharto.(orde baru). Tahun 1982 Dewan
Revolusioner OPM didirikan dimana tujuan dewan tersebut adalah untuk menggalang
dukungan masyarakat internasional untuk mendukung kemerdekaan wilayah tersebut.
Mereka mencari dukungan antara lain melalui PBB, GNB, Forum Pasifik Selatan,
dan ASEAN.
Kesenjangan sosial yang sangat begitu tajam antara
warga pendatang dan warga asli serta eksploitasi alam bumi Papua yang membabi
buta semakin menambah deretan alasan pembenaran gerakan separatis ini.
Pemerintah pusat mesti serius mengatasi ini, bukan hanya dengan upaya
pendekatan militer, akan lebih baik bila dikedepankan upaya diplomatis dan
pendekatan perhatian kesejahteraan para warga asili Papua yang masih banyak
yang belum tersentuh dari hiruk pikuknya pembangunan
Bagaimanakah sisi kehidupan mereka dalam melakukan kegiatannya, berikut
kita bisa lihat aktifitas mereka sehari hari di hutan dan pedalaman Papua dalam
upaya gerilya mewujudkan keinginan mereka membuat negara sendiri terpisah dari
negara kesatuan Republik Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar