PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN
ISLAM DI INDONESIA
Islam masuk di Indonesia pada abad ke-13 Masehi,
dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India. Ada pendapat lain bahwa masuknya
agama Islam di Indonesia melalui kesepakatan sebagai berikut :
- Islam masuk Indonesia pada abad 1 Hijriah atau abad 7 M.
- Agama Islam masuk di Indonesia tidak melalui India, tetapi langsung dari Mekah.
- Dalam perkembangannya Islam di Indonesia banyak diwarnai oleh madzhab Syafi’i.
Masuknya Islam ke Indonesia menurut pendapat lain ada
3 teori yaitu teori Persia, Teori Gujarat dan Teori Mekah, yaitu penjelasannya
sebagai berikut :
- TEORI PERSIA
Teori ini dibangun oleh P.A. Hussein Djayadiningrat.
Teori ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di
kalangan masyarakat Islam di Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan
Persia. Salah satu persamaan tersebut adalah : Peringatan 10 Muharram atau
Asyura sebagai peringatan syiah atas kematian Syahidnya Husain.
- TEORI GUJARAT
Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa
datangnya Islam di Indonesia berasal dari Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh
Snouck Hurgronye. Dengan alasan agama Islam disebarluaskan melalui jalan dagang
antara Indonesia dengan Cambay (Gujarat).
Menurut J.C. Van Leur, masuknya Islam pada 7 M bukan pada 13 M. Sedangkan pada abad 13 M itu perkembangannya.
Menurut J.C. Van Leur, masuknya Islam pada 7 M bukan pada 13 M. Sedangkan pada abad 13 M itu perkembangannya.
- TEORI MEKAH
Teori ini dipelopori Hamka. Ia berpendapat tersebut
karena Mekah sebagai pusat agama Islam. Dan ia menolak pendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke-13 sebab Islam masuk Indonesia jauh sebelum
abad ke-7.
Menurut pendapat lain Agama Islam masuk di Nusantara
sekitar abad VII dan VIII masehi. Hal ini didasarkan kepada
berita cina yang menceritakan renacana
serangan orang-orang Arab. Dinasti Tang di Cina juga
memberitakan bahwa di Sriwijaya sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan
hubungan dagang dengan cina. Pendapat lainnya
mengatakan bahwa Islam masuk di Nusantara
pada abad ke 13, hal ini di
dasarkan pada dugaan keruntuhan Dinasti Abasiyah (1258
M), berita Marcopolo (1292 M), batu nisan Sultan Malik As Saleh (1297 M), dan
penyebaran ajaran tasawuf.
Agama Islam
masuk di nusantara dibawa oleh para
pedagang muslim melalui dua jalur, yaitu jalur
utara dan jalur seletan. Melalui jalur
utara dengan rute : Arab (Mekah dan
Madinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (pantai
barat India) – Nusantara. Melalui jalur selatan
dengan rute: Arab (Mekah dan Madinah) –
Yaman - Gujarat (pantai barat
India) – Srilangka – Nusantara.
Cara
penyebaran Islam di Nusantara dilakukan
melewati berbagai jalan diantaranya adalah melalui
perdagangan, sosial, dan pengajaran.
- Melalui Proses Perdagangan
Penyebaran Islam di Nusantara melalui saluran
perdagangan, artinya pendakwah itu disamping membawa barang dagangannya, mereka
pada sore hati (setelah berjualan) atau di sela-sela waktu senggang
dimanfaatkan untuk menceritakan hal ihwal tentang agama Islam kepada masyarakat
di mana ia berdagang, walaupun secara sederhana. Dengan cara ini ternyata dapat
dipahami sehingga dari waktu ke waktu penganut Islam semakin bertambah,
meskipun penyebarannya ketika itu belum merata ke daerah-daerah di Nusantara.
Namun demikian, jumlah penganut semakin melonjat, bahkan bangsa kita sendiri
yang kemudian ikut menyebarkannya. Dengan demikian selain mencari keuntungan
ala kadarnya para pedagang itu juga mengajar masyarakat memeluk agama Islam.
Motif perluasan agama ini sepenuhnya murni untuk menyebarkan ajaran Islam. Pada
saat yang sama, penduduk pribumi yang bersedia masuk Islam menjadi lebih mudah
diajak bekerja sama.
2.
Melalui Proses Struktur Sosial
Pada perkembangan berikutnya, struktur sosial ini
dimanfaatkan oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran Islam. Sebab jika
raja-raja atau kaum bangsawan sudah lebih dulu masuk Islam, maka dengan
sendirinya rakyatnya akan mengikuti jejak-jejak para bangsawan / raja tersebut.
Dari kontak-kontak sosial ini, selanjutnya menyebar kepada yang lainnya,
dimulai dari keluarga, kerabat, teman dekat, tetangga dan yang lainnya, sampai
batas pulau sekalipun. dengan cara ini pula penyebaran Islam di Nusantara
semakin efektif dan semakin bertambah pengikutnya.
3.
Melalui Proses Pengajaran
Selain cara yang dijelaskan diatas, para pedagang dari
Timur Tengah mengemban misi penyebaran agama Islam melalui pengajian, yaitu
dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang selanjutnya dinamakan
lembaga pendidikan pesantren. Perkembangan selanjutnya lembaga-lembaga
pendidikan Islam atau organisasi keagamaan ini banyak ditemui di tanah air,
seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan
Umat Islam (PUI), dan Persatuan Tarbiyah (Perti).
Melalui proses pengkaderan atau penggodokan itulah, muncul para ulama-ulama yang ahli dalama bidang agama islam. Para ulama yang telah memperoleh pendidikan tersebut, kemudian menyebarkan dan menjadi ujung tombak dalam ikut menyebarkan agama Islam. Semua kalangan menjadi garapannya, mulai kaum atas, hingga rakyat biasa
Melalui proses pengkaderan atau penggodokan itulah, muncul para ulama-ulama yang ahli dalama bidang agama islam. Para ulama yang telah memperoleh pendidikan tersebut, kemudian menyebarkan dan menjadi ujung tombak dalam ikut menyebarkan agama Islam. Semua kalangan menjadi garapannya, mulai kaum atas, hingga rakyat biasa
- Kerajaan Islam di Jawa
a. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa
setelah jatuhnya Kerajaan Hindu Majapahit. Kerajaan Islam di Jawa Tengah ini,
semula bernama Glagahwangi, sebuah desa di sebelah selatan Jepara, hadiah dari
Prabu Brawijaya V (Kertabumi, Raja Majalahit) pada putranya, Raden Fatah yang
juga disebut Pangeran Jinggun. Disitulah didirikan pesantren masjid Agung
Demak. Oleh Prabu Brawijaya, Raden Fatah diangkat menjadi Pangeran Adipati
Bintara. Tahun 1478, Majapahit ditaklukan Prabu Giridrawardana dari Kediri yang
mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI. Peristiwa ini ditandai dengan
canda sengkala “Sirna hilang kertaning bumi” (1478/1400 saka). Pada kesempatan
ini, para wali mengangkat Raden Fatah sebagai pelanjut keturunan Brawijaya V
sebagai Sultan di Bintara Demak dengan gelar Alam Akbar Al-Fatah.
Menurut sumber lain, Sunan Ampel memberi nama kepada
Raden Fatah Senapati Jinbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin
Panatagama. Raden Fatah memang lahir di Palembang. Menurut sejarah, ketika
Raden Fatah masih dalam kandungan ibunya yang berasal dari Cina, ibu muda ini
diceraikan oleh Brawijaya V dan dihadiahkan kepada Aryadama Adipati Palembang.
Sementara itu, Prabu Brawijaya VI yang memerintah Majapahit pada tahun 1498 M
dikalahkan oleh Prabu Udara yang kemudian menamakan dirinya Brawijaya VII.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana ini, Demak
mengalami masa kejayaan, tetapi juga merupakan akhir dari sejarahnya. Sultan
Trenggana bercita-cita untuk mengislamkan seluruh Jawa. Untuk Jawa Barat
pengislamannya diserahkan kepada pendatang yang luar pengetahuan islamnya, ahli
dalam bidang strategi militer, dan cakap pula mengatur pemerintahan, yaitu
Fatahillah atau Syarif Hidayatullah yang setelah wafat dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati.
b. Kerajaan Islam Pajang
Kesultanan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan
Islam Demak, Sultan pertamanya ialah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging.
Ia adalah menantu Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia
mengambil alih kekuasaan dari tangan Arya Panangsang tahun 1546 M seluruh
kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajanng, dan ia diberi gelar Sultan
Adiwijaya.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M kedudukannya
digantikan oleh Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto. Sementara itu anak Sultan
Adiwijaya yaitu Pangeran Benawa diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia
mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan bantuan Panembahan
Senopati dari Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia memberikan tanda terima
kasih kepada Panembahan Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi,
Panembahan Senopati menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka kerajaan
Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di
bawah perlindungan Mataram yang kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
c. Kerajaan Islam Mataram
Setelah permohonan Panembahan Senopati Mataram atas
penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi
raja sebenarnya telah terpenuhi. Dalam tradisi Jawa, penyerahan pusaka seperti
itu berarti penyerahan kekuasaan. Panembahan Senopati berkuasa sampai tahun
1601 M dan sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya bernama Seda Ing Krapyak
yang memerintah sampai tahun 1613M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh putranya
Sultan Agung (1913-1646M)
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak
bersenjata antara Kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun
1646 M ia digantikan oleh putranya Amangkurat I. pada saat terjadi perang
saudara dengan Pangeran Alit, ia mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya
para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1947M. pemberontakan itu
kemudian diteruskan pleh Raden Kajoran tahun 19677-1678M.
pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Islam
Mataram.
d. Kerajaan Islam Cirebon
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Ilam pertama di
Daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan
lahir tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. karena
kedudukannya sebagai Walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa
seperti seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri, Sunan Gunung
Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran
Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh,
Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M ia kembali ke Cirebon dan Banten
diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin. Sultan inilah yang
menurunkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh
cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu
wafat tahun 1650M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan
Girilaya. Sepeninggalnya, kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang
putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau
Panembahan Anom. Panembahan sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan yang bergelar
Syamsudin, sedangkan panembahan Anon memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar
Badruddin.
e. Kerajaan Islam Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak
di ujung barat Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung Jati (Fatahilah)
setelah berhasil merebut kota pelabuhan dari tangan Bupati Sunda yang menjadi
penguasa kota itu dengan bantuan laskar dari Demak. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 1525 M
Setelah kerajaan itu cukup kokoh, lebih-lebih setelah
dapat menguasai Sunda Kelapa, pada tahun 1522 Sunan Gunung Jati pindah ke
Cirebon dan wafat disana, dan diangkatlah putranya, Hasanudin sebagai raja. Ia
kawin dengan putri demak dan mendapat dua orang anak laki-laki. Yang sulung,
Maulana Yusuf, dicalonkan untuk menjadi gantinya nanti. Adiknya, pangeran Aryo
diasuh oleh bibi dari pihak ibunya Ratu Kalinyamat di Jepara yang tidak
berputra (mungkin karena suaminya, Pangeran Hadiri terbunuh oleh Arya
Penangsang). Setelah bibinya meninggal, ia menjadi adipati di Jepara dan terkenal
dengan nama Pangeran Jepara.
Sultan Hasanudin wafat pada tahun yang sama dengan
ayahnya, 1570 M setelah sempat memisahkan diri dari Demak. Dalam cerita Banten,
ia terkenal dengan nama Anumerna Pangeran Saba Kingking sesuai dengan tempat ia
dimakamkan yang tidak jauh dari Banten. Sebagai gantinya ia Maulana Yusuf
Panembahan Pangkalan Gede, memerintah antara tahun 1570-1580. selama masa
pemerintahannya, ia mendirikan Masjid Agung Banten, membuat perbentengan yang
kuat, memperluas perkampungan dan pesawahan, serta mengusahakan irigasi dan
bendungan-bendungan. Pada tahun 1579 M, ia berhasil menaklukan Raja Pakuan,
benteng terakhir Hindu Jawa Barat. Menurut sejarah Banten, penyerbuan ke Pakuan
ini mengikutsertakan para penguasa dan alim ulama. Raja dan keluarganya
menghilang, sedangkan golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Sesudah selesai
menaklukan Pakuan, Sultan Maulana Yusuf mendirikan ibukota baru, Banten Sura
Sowan (Sura Saji).
2.
Kerajaan Islam di Sumatera
a. Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kerajaan Islam Sumadera Pasai adalah kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar
awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil proses Islamisasi di
daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad
ke-7 M dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik Al-Saleh.
Dalam Hikayat raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik
Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam
berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang
kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Islam Samudera Pasai berlangsung sampai pada
tahun 1524M. pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang
mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M disebut oleh kerajaan
Aceh, dibawah pimpinannya rajanya yaitu Ali Mughayat Syah.
b. Kerajaan Islam Aceh Darussalam
Kerajaan Islam Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15
M. Pendirinya adalah Ali Mughayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah pidie
yang bekerjasama dengan Portugis yang kemudian menaklukan kerajaan Islam
Samudera Pasai tahun 1524M
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Islam Aceh Darussalam
ialah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Aqahar. Dalam menghadapi
tentara Portugis, ia bekerjasama dengan Kerajaan Turki Usmani dan negara-negara
Islam lainnya di Indonesia.Puncak kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi
pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637M).
c. Kerajaan Islam di Sumatera Selatan
Dibukanya jalur perdagangan melalui Selat Malaka
sebagai ganti jalur perdagangan di darat antara Arabia dengan Cina yang
dirintis sejak 500 SM membuat daerah-daerah pantai di sepanjang pesisir timur
Sumatera menjadi ramai. Seluruh kapal perdagangan yang melewati Selat Malaka
perlu singgah untuk mempersiapkan air minum, makanan dan perbekalan lainnya di
pantai-pantai tersebut. Dalam hal ini, Sriwijaya yang berpusat di Palembang
tampil sebagai pemegang monopoli yang menguasai pantai-pantai di Selat Malaka sehingga
Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang besar dan kuat di Nusantara.
Diketahui bahwa Timur Tengah (Islam) menguasai jalur
perdagangan laut ke timur dibanding barat. Dai-dai Islam yang datang bersama
tentara Islam dan Sriwijaya. Palembang merupakan daerah yang strategis bagi
masuknya Islam ke Sumatera Selatan. Namun demikian, belum bisa dipastikan
adanya proses Islamisasi di Sumatera Selatan. Pada masa itu, belum ada bukti
adanya orang-orang pribumi yang masuk Islam. Yang jelas, menurut Hasan Muarif Ambary,
pada permulaan abad ke-7 di Palembang sudah ada masyarakat muslim yang oleh
penguasa kerajaan Sriwijaya telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan
ibadat menurut agama Islam.
Setelah Majapahit jatuh, kemudian Demak berdiri,
Palembang berada di bawah perlindungan Demak. Dengan demikian, Palembang
menjadi bagian dari kerajaan Islam, sebagai daerah kekuasaan demak, penguasa
demak, Raden Patah, menunjuk Pangeran dari Surabaya (Pangeran Sedo Ing Lautan)
sebagai penguasa Demak di Palembang.
d. Kerajaan Islam di Minangkabau
Ada dua teori mengenai masuknya Islam di
Minangkabau. Pertama, seperti dikemukakan oleh Hamka bahwa Islam mencapai
pedalaman Minangkabau melalui Pantai Timur Sumatera. Kedua, kebanyakan ahli
sejarah berpendapat bahwa kegiatan Islamisasi Minangkabau berkaitan dengan
penguasaan Aceh atas Pantai Barat Sumatra, seperti Tiku dan Pariaman. Pelabuhan
di Pantai Barat Sumatera Barat, sebagai tempat berdagang orang-orang Arab dan
Gujarat memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di pedalaman
Minangkabau.
Nuqaib al-attas berpendapat bahwa Islam pertama kali
disebarkan ke Pantai Barat Minangkabau pada abad ke-12 oleh Syekh Burhanuddin
dari Ulakan, Pariaman. Ia adalah murid Syekh Abdullah Arif, Muslim arab yang
menyebarkan Islam ke Sumatera Utara sekitar tahun 1112.
De Graaf mengaitkan Islamisasi di pedalaman
Minangkabau dengan peperangan antara aceh dengan penguasa-penguasa Minangkabau.
Dilaporkan bahwa salah seorang penguasa Minangkabau telah mengawini putri
Pangeran Aceh dan tetap tidak mau masuk Islam. Hal ini menimbulkan perselisihan
dengan ayah mertuanya. Akibatnya, ia harus menyerahkan sejumlah besar wilayah
Minangkabau. Peristiwa ini terjadi setelah dekade kedua pada abad ke-16.
Kepemilikan Aceh atas pantai barat Minangkabau selanjutnya membawa kemajuan
bagi kepentingan Islam.
Cepatnya penyebaran Islam di Minangkabau, menurut
Christine Dobbin berkaitan erat dengan organisasi persaudaran sufi atau
tarekat. Pada ulama tasawuf yang datang ke Minangkabau dalam menyebarkan
ajaran-ajaran Islam, mendirikan organisasi tarekat. Pada abad ke-18 di
Minangkabau terdapat tiga aliran tarekat yaitu Naqsabandiyah, Syattariyyah, dan
Qadiriyyah. Tarekat yang pertama kali masuk ke Minangkabau adalah Naqsabandiyah
pada paruh pertama abad ke-17. berikutnya, tarekat Syattariyah dibawah Syekh
Burhanuddin pada akhir abad ke-17. tarekat Qadiriyah memasuki Minangkabau pada
akhir abad ke-18 semua tarekat mengembangkan organisasi tarekat dengan
mendirikan surau. Oleh karena itu, surai disamping sebagai lembaga pendidikan
juga sebagai kegiatan tarekat.
Pada akhir tahun 1803/1804, tiga orang penduduk asal
Minangkabau pulang ibadah haji dari tanah suci Mekah. Mereka adalah Haji
Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang. Ketika mereka menjalankan ibadah haji,
mereka telah menyaksikan serangan orang-orang wahabi ke Mekah atau paling tidak
mereka telah mendengarkan ajaran-ajaran Wahabi yang akhir mempengaruhi mereka.
Setelah mereka pulang ke Minangkabau mereka membawa semangat baru, kemudian
mereka membandingkan kondisi masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran
Wahabi. Mereka melihat perlu diadakan pembaruan tatanan sosial. Tujuan utama
mereka ialah membersihkan masyarakat dari adat buruk yang menyimpang dari
ajaran Islam. Menurut mereka, pembaruan sosial harus dilakukan dengan
menyebarkan ajaran Wahabi dengan keras.
Pada awalnya, mereka mendapat perlawanan dari masyarakat. Namun lama kelamaan banyak tokoh agama yang tertarik dan mendukung mereka. Tuanku Nan Renceh, murid kesayangan Tuanku Nan Tua yang tidak setuju dengan militansi mereka, bergabung dengan Haji Miskin. Dari sinilah mulai terbentuknya gerakan Padri. Tuanku Nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tujuh tuanku, sebutan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan agama secara mendalam di Agam Sumatera Barat. Karena kekerasan mereka, mereka dikenal denan Harimau Nan Delapan.
Pada awalnya, mereka mendapat perlawanan dari masyarakat. Namun lama kelamaan banyak tokoh agama yang tertarik dan mendukung mereka. Tuanku Nan Renceh, murid kesayangan Tuanku Nan Tua yang tidak setuju dengan militansi mereka, bergabung dengan Haji Miskin. Dari sinilah mulai terbentuknya gerakan Padri. Tuanku Nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tujuh tuanku, sebutan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan agama secara mendalam di Agam Sumatera Barat. Karena kekerasan mereka, mereka dikenal denan Harimau Nan Delapan.
3.
Kerajaan Islam di Sulawesi
Dalam sumber-sumber sejarah di Sulawesi Selatan, dapat
diketahui secara pasti kapan penguasa-penguasa masuk Islam. Hal ini disebabkan
oleh Islamisasi yang terlambat. Dilaporkan bahwa awal pada abad ke-17 telah
datang ke Sulawesi Selatan Tiga Datuk (Dato Tallua atau Dato’ Tellue) mereka
adalah Dato ‘ri Bandang, nama aslinya Abdul Makmur. Dato ‘r Pattimang alias
Sulaiman dan Dato ‘ri Tiro alias Abdul Jawad. Tempat yang pertama mereka tuju
ialah Luwu’. Mereka mengajak penguasa luwu La Patiware untuk masuk Islam.
Ajakan mereka disambut baik oleh Raja Luwu La Patiware Daeng Parabung yang
mengucapkan syahadat pada tanggal 15 atau 16 Ramadhan 1013 H / Pebruari 1605.
Namanya kemudian diganti menjadi Sultan Muhammad. Selanjutnya, tiga Datuk
berangkat menuju kerajaan kembar Gowa Tallo, yang dikenal dengan Makassar atau
Ujung Pandang. Gowa Tallo merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan pada
waktu itu. Karena dakwah mereka, I Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng
Katangka, penguasa Tallo dan perdana menteri Gowa, masuk Islam dengan diikuti
beberapa anggota keluarganya. Ia melafazkan kalimat syahadat pada hari Jum’at
tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H / 22 September 1605 kemudian ia memakai nama
Islam, Sultan Abdullah. Setelah masuk Islam. Ia mengajak penguasa muda Gowa
yang juga kemenakannya. I Manga’rang Daeng Manrabbia untuk masuk Islam.
Dua tahun setelah Islamnya Sultan Abdullah diadakan
salat Jum’at pertama di Masjid Tallo pada hari Jum’at 19 Rajab 1016H / 10
Nopember 1607. Salat Jum’at tersebut diikuti oleh sejumlah besar penduduk yang
sebelumnya telah bersepakat masuk Islam. Dengan demikian, Makassar secara resmi
menjadi kerajaan Muslim.
4.
Kerajaan Islam di Kalimantan
Sebelum kedatangan para
pedagang Arab, pedagang-pedagang Melayu dan perompak-perompak tertarik untuk
menetap di Kalimantan, tujuan mereka adalah untuk mendulang emas dan berlian.
Mereka kemudian mendirikan kota-kota di muara sungai. Pada perkembangan
berikutjya, mereka tersebut sampai ke hulu. Selanjutnya mereka hidup mapan
disana. Ketika para pendakwah sekaligus sebagai pedagang dari Arab datang ke
Kalimantan mereka memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat dan
mengajak untuk memeluk Islam. Berikutnya, penyebaran Islam dilakukan oleh para
dai dari Sumatra, Jawa dan dari daerah lainnya.
Di Kalimantan pelabuhan yang terkenal adalah Brunei.
Oleh karena itu seluruh pulau itu dikenal dengan nama Brunei atau Borneo bagi
orang-orang Portugis.
Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan banyak dilakukan oleh orang-orang Jawa. Jauh sebelum mencapai daerah ini, orang-orang Jawa berlayar kemudian menetap di Kalimantan Selatan.
Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan banyak dilakukan oleh orang-orang Jawa. Jauh sebelum mencapai daerah ini, orang-orang Jawa berlayar kemudian menetap di Kalimantan Selatan.
Penyebaran Islam di Kalimantan banyak dilakukan oleh
para mubalig dari Jawa. Hal ini bisa terjadi karena hubungan masyarakat antara
dua kepulauan sudah terjalin sejak masa pemerintahan Majapahit dengan Kerajaan
Kutai. Oleh karena itu para mubalig pada masa berikutnya hanya melanjutkan
hubungan telah terjalin cukup lama. Diantara mubalig yang datang ke Kalimantan
adalah Khatib Dayyan serta mubalig dari Banjar yaitu Muhammad Arsyad Al Banjari
yang menegakkan tonggak ajaran Islam di Kalimantan pada abad ke-18 M.
Walisongo (Wali Sembilan)
Di kalangan masyarakat Islam Jawa, banyak orang
mempercayai bahwa wali yang menyebarkan Islam di Jawa berjumlah sembilan orang,
sesuai dengan kata “songo”. Sebenarnya jumlah mereka tidak tepat sembilan,
tetapi lebih. Namun lebih dikenal adalah sembilan wali (wali songo)
1.
Sunan Gresik (Malik Ibrahim, Maulana)
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Magribi yang dalam
babad Jawa disebut Makdum Brahim Asmara. Beliau adalah saudara Maulana Ishak
dengan memperistri putri Campa dan melahirkan dua orang putra, yaitu Raden
Rahmat (Sunan Ampel) dan Syaid Aki Murtadha atau Raden Santri. Beliau adalah
putra dari Raden Jumadil Qubro. Maulana Malik Ibrahim datang ke Jawa tahun 1404
M yang menurut Babad Tanah Jawi bukan datang dari Campa, tetapi menurut namanya
beliau berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Pernyataan dari Babad Tanah Jawi
tidak bertentangan, sebab dari Asia Kecil beliau bermukim dulu di Campa.
Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama Islam dengan
cara melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat yang diajaknya. Beliau dakwah
dengan diplomasi yang ulung, tidak menyinggung perasaan orang yang didakwahnya,
bahkan membesarkan hati. Hal tersebut menunjukkan betapa tinggi ilmu yang
dimiliki oleh syekh Maulana Malik Ibrahim. Hal ini dapat diketahui dalam
kisah-kisah yang pernah dialaminya, misalnya dalam kisah tentang Kepala
perampok. Maulana Malik Ibrahim tidak turun sendiri dalam menghadapinya, tetapi
murid-muridnya saja dapat mengalahkan kepala perampok. Maka, dapat disimpulkan
betapa saktinya dia.
Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419 M dan
dimakamkan di Gresik pada nisanya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa
dia adalah seorang penyebar agama yang cakap dan gigih. Dalam bahasa Indonesia
tulisan itu berbunyi :”inilah makam almarhum almagfur yang berharap rahmat
Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi pada sultan dan para menteri, penolong para
fakir miskin, yang berbahagia dan syahid cemerlangnya simbol negara dan agama”
Maulana malik ibrahim terkenal dengan nama Kake Bantal.
2.
Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401- Ampel, Surabaya 1481 M)
Nama aslinya Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana
Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Sunan Ampel adalah
penerus cita-cita serta perjuangan Maulana Malik Ibrahim dan terkenal sebagai
perencana pertama kerajaan Islam di Jawa; ia memulai aktivitasnya dengan
mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia dikenal
sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah
Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan
disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain
Raden Paku yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri, Raden yang kemudian
menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro, demak, Raden Makdum Ibrahim
(Putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang
Syaridudin yang kemudian dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah
diutus ke daerah blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana dan banyak lagi
mubalig yang mempunyai andil besar dalam Islamisasi Pulau Jawa.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa dengan ibu kota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat
Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling
besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara. Disamping itu
Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama
wali-wali yang lain. Ketika mendirikan Masjid tersebut, para wali mengadakan
pembagian tugas. Sunan Ampel diserahi tugas memuat salah satu dari saka guru
(tiang kayu raksasa) yang kemudian dipasang di bagian tenggara. Tiga tiang
besar yang lain dikerjakan oleh Sunan Kalijaga untuk tiang sebelah timur laut
(bukan berupa tiang utuh, tetapi berupa beberapa balok yang diikat menjadi satu
yang disebut “saka tatal”) Sunan Bonang untuk tiang sebelah barat timur, Sunan
Gunung Jati untuk tiang sebelah barat daya, sementara bagian-bagian lain masjid
dikerjakan oleh para wali yang lain
3.
Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya 1465 – Tuban 1525)
Dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Ia adalah putra Raden
Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan Saudara sepupuh
Sunan Kalijaga. Ia terkenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim atau
Raden Ibrahim (Makhdum adalah gelar yang biasa diberikan kepada seorang ulama
besar di India dan berarti orang yang dihormati). Dari perkawinannya dengan
Dewi Hiroh ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Rukhil yang kemudian
diperistri Sunan Kudus. Setelah belajar Islam di Pasai, Aceh Sunan Bonang kembali
ke Tuhan, Jawa Timur untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang
menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Setelah sunan Ampel wafat,
pesantren yang ditinggalkannya tidak lagi mempunyai pemimpin resmi. Maka untuk
mengisi kekosongan itu, Sunan Bonang memprakarsai musyawarah para wali untuk
membicarakan siapa yang akan memimpin pesantren tersebut. Hasil musyawarah wali
memutuskan untuk mengangkat Raden Fatah menjadi pengganti almarhum Sunan Ampel.
Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara
mendalam kepada Raden Fatah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V yang
kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini
dikenal dengan “Suluk Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang” Isi buku
tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tengah, kalimatnya sangat banyak dipengaruhi
bahasa Arab, dan sampai sekarang masih tersimpan di Universitas Leiden Negeri
Belanda.
4.
Sunan Giri (Blambangan, Pertengahan abad Ke-15 – Giri 1500 M)
Nama aslinya Raden Paku, disebut juga Prabu Satmata
dan kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ia adalah putra dari Maulana
Ishak yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama Islam di
Blambangan. Salah seorang saudaranya juga termasuk Walisongo, yaitu Raden Fatah
(Sunan Gunung Jati) dan ia mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Fatah
karena istri mereka bersaudara.
Ketika usianya beranjak dewasa, Raden Paku belajar agama di Pondok Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel) dan disana bertema baik degan Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang. Dalam suatu perjalanan ibadah haji menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam pengetahuan di Pasai yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan, keimanan dan tasawuf. Disini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni sehingga gurunya menganugrahinya gelar Ai Al Yaqin karena itulah ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yakin.
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama. Misalnya jelungan, jamuran, gendi ferit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-ilir dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak) sebab setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
Ketika usianya beranjak dewasa, Raden Paku belajar agama di Pondok Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel) dan disana bertema baik degan Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang. Dalam suatu perjalanan ibadah haji menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam pengetahuan di Pasai yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan, keimanan dan tasawuf. Disini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni sehingga gurunya menganugrahinya gelar Ai Al Yaqin karena itulah ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yakin.
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama. Misalnya jelungan, jamuran, gendi ferit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-ilir dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak) sebab setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
5.
Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, sekitar Tahun 1470 Sedayu, Gresik
pertengahan abad ke-16)
Nama aslinya Raden Kosim atau Syarifudin tetapi karena
ia dimakamkan di daerah Sedayu, maka kebanyakan masyarakat awam mengenalnya
sebagai Sunan Sedayu.Menurut Silsilah, Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel
dari istri kedua bernama Dewi Candrawati. Ia mempunyai enam saudara seayah
seibu diantaranya Siti Syareat (istri Raden Usman Haji), Siti Mutma’innah
(Istri Raden Muhsin), Siti Sofiah (istri Raden Usman Ahmad, Sunan Malaka), dan
Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), disamping itu ia mempunyai dua orang
saudara seayah lain ibu yaitu Dewi Murtasiyah (istri Raden Fatah) dan Dewi
Murtasimah (istri Raden Paku atau Sunan Giri), Istrinya sendiri Dewi Sifiyah
adalah putri Sunan Gunung Jati.
Hal yang
paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat
serius pada masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan
tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu
memberi pertolongan kepada umum, menyantuni anak yatim dan fakis miskin sebagai
suatu proyek sosial yang dianjurkan agama Islam.
6.
Sunan Kalijaga (akhir Abad ke-14 Pertengahan abad ke-15)
Terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar,
berpandangan jauh berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa Asli.
Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti
pelaksana dan membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan
menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan
atau kesucian. Nama Asli Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid dan
kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung
Wilatikta yang menjadi bupati Tuban, sedang ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas,
bahkan sebagai mubaligh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena
sistem dajwahnya yang intelek dan aktual maka para bangsawan dan cendekiawan
sangat simpati terhadapnya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan
penguasa, berdakwahnya tidak monoton, sesekali diisi dengan cerita-cerita humor
yang mendidik, sekaligus menarik perhatian.
Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusastraan. Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diiberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam Bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya” dan menjadi salah satu ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusastraan. Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diiberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam Bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya” dan menjadi salah satu ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
7.
Sunan Kudus (Abad ke-15 – Kudus 1550)
Nama aslinya Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil
dipanggil Raden Undung. Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji,
sebab ketika menunaikan ibadah haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan
(amir).
Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji, yang
menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilah Sunan Kudus
masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah
selengkapnya : Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raden Pendeta bin Ibrahim
as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini Al-Husein bin Zaini
Al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra.
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan
sekitarnya dan dia memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama
dalam ilmu fikih, usul fikih, tauhid, hadits, tafsir, serta logika. Karena
itulah diantara Walisongo hanya ia yang mendapat julukan Wal Al-ilmi (orang
yang luas ilmunya) dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut
ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Disamping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
Disamping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
8.
Sunan Muria (abad ke-15 – abad ke-16)
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam
menyiarkan Islam di pedesaan Pulau Jawa adalah putra Sunan Kalijaga nama
aslinya Raden Umar Said, atau Raden Said sedang nama kecilnya adalah Raden
Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan
dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota
Kudus sekarang).
Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia
Kesultanan Demak Bintoro dan berperan serta dalam mendirikan Masjid Demak.
Dalam rangka dakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinon dan
Kinanti.
9.
Sunan Gunung Jati (Mekah, 144-Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat 1570)
Salah seorang dari Walisongo yang bayak berjasa dalam
menyebarkan Islam di Pulau Jawa terutama di Jawa Barat juga pendiri kesultanan
Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah dialah pendiri Dinasti Raja-raja
Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu
Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan nyai Subang Larang, lahirlah
dua putra dan satu putri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, Nyi Lara
Santang dan Raja Sengara.
Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walangsungsang keluar dari keraton tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Jati Ngamparan Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya utuk ibadah haji ke Mekah. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah) seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani Hasyim.
Setelah menunaikan ibadah Haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan yang kemudian berkembang menjadi Cirebon. Sementara itu Nyai Larang Santang melahirkan Syarif Hidayatullah setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Dia kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan, ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati sebagai salah seorang Walisongo mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan ulama ia diberi gelar Raja Pandita.
Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walangsungsang keluar dari keraton tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Jati Ngamparan Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya utuk ibadah haji ke Mekah. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah) seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani Hasyim.
Setelah menunaikan ibadah Haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan yang kemudian berkembang menjadi Cirebon. Sementara itu Nyai Larang Santang melahirkan Syarif Hidayatullah setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Dia kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan, ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati sebagai salah seorang Walisongo mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan ulama ia diberi gelar Raja Pandita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar