Jumat, 25 November 2016

PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA



PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA KERAJAAN – KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
Islam masuk di Indonesia pada abad ke-13 Masehi, dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India. Ada pendapat lain bahwa masuknya agama Islam di Indonesia melalui kesepakatan sebagai berikut :
  1. Islam masuk Indonesia pada abad 1 Hijriah atau abad 7 M.
  2. Agama Islam masuk di Indonesia tidak melalui India, tetapi langsung dari Mekah.
  3. Dalam perkembangannya Islam di Indonesia banyak diwarnai oleh madzhab Syafi’i.
Masuknya Islam ke Indonesia menurut pendapat lain ada 3 teori yaitu teori Persia, Teori Gujarat dan Teori Mekah, yaitu penjelasannya sebagai berikut :
  1. TEORI PERSIA
Teori ini dibangun oleh P.A. Hussein Djayadiningrat. Teori ini lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam di Indonesia yang dirasakan memiliki persamaan dengan Persia. Salah satu persamaan tersebut adalah : Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai peringatan syiah atas kematian Syahidnya Husain.
  1. TEORI GUJARAT
Teori Gujarat adalah teori yang menyatakan bahwa datangnya Islam di Indonesia berasal dari Gujarat. Teori ini dikemukakan oleh Snouck Hurgronye. Dengan alasan agama Islam disebarluaskan melalui jalan dagang antara Indonesia dengan Cambay (Gujarat).
Menurut J.C. Van Leur, masuknya Islam pada 7 M bukan pada 13 M. Sedangkan pada abad 13 M itu perkembangannya.
  1. TEORI MEKAH
Teori ini dipelopori Hamka. Ia berpendapat tersebut karena Mekah sebagai pusat agama Islam. Dan ia menolak pendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 sebab Islam masuk Indonesia jauh sebelum abad ke-7.
Menurut pendapat lain Agama Islam masuk di Nusantara sekitar abad VII dan VIII masehi. Hal ini  didasarkan  kepada  berita  cina  yang  menceritakan  renacana  serangan  orang-orang  Arab. Dinasti Tang di Cina  juga memberitakan bahwa di Sriwijaya sudah ada perkampungan muslim yang mengadakan  hubungan  dagang  dengan  cina.  Pendapat  lainnya mengatakan  bahwa  Islam masuk  di  Nusantara  pada  abad  ke  13,  hal  ini  di  dasarkan  pada  dugaan  keruntuhan  Dinasti Abasiyah (1258 M), berita Marcopolo (1292 M), batu nisan Sultan Malik As Saleh (1297 M), dan penyebaran ajaran tasawuf.

      Agama  Islam masuk  di  nusantara  dibawa  oleh  para  pedagang muslim melalui  dua  jalur,  yaitu jalur  utara  dan  jalur  seletan. Melalui  jalur  utara  dengan  rute  : Arab  (Mekah  dan Madinah)  – Damaskus  – Bagdad  – Gujarat  (pantai  barat  India)  – Nusantara. Melalui  jalur  selatan  dengan rute:  Arab  (Mekah  dan Madinah)  –  Yaman  -    Gujarat  (pantai  barat  India)  –    Srilangka  – Nusantara.
      Cara  penyebaran  Islam  di  Nusantara  dilakukan  melewati  berbagai  jalan  diantaranya  adalah melalui perdagangan, sosial, dan pengajaran.
  1. Melalui Proses Perdagangan
Penyebaran Islam di Nusantara melalui saluran perdagangan, artinya pendakwah itu disamping membawa barang dagangannya, mereka pada sore hati (setelah berjualan) atau di sela-sela waktu senggang dimanfaatkan untuk menceritakan hal ihwal tentang agama Islam kepada masyarakat di mana ia berdagang, walaupun secara sederhana. Dengan cara ini ternyata dapat dipahami sehingga dari waktu ke waktu penganut Islam semakin bertambah, meskipun penyebarannya ketika itu belum merata ke daerah-daerah di Nusantara. Namun demikian, jumlah penganut semakin melonjat, bahkan bangsa kita sendiri yang kemudian ikut menyebarkannya. Dengan demikian selain mencari keuntungan ala kadarnya para pedagang itu juga mengajar masyarakat memeluk agama Islam. Motif perluasan agama ini sepenuhnya murni untuk menyebarkan ajaran Islam. Pada saat yang sama, penduduk pribumi yang bersedia masuk Islam menjadi lebih mudah diajak bekerja sama.
2.      Melalui Proses Struktur Sosial
Pada perkembangan berikutnya, struktur sosial ini dimanfaatkan oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran Islam. Sebab jika raja-raja atau kaum bangsawan sudah lebih dulu masuk Islam, maka dengan sendirinya rakyatnya akan mengikuti jejak-jejak para bangsawan / raja tersebut. Dari kontak-kontak sosial ini, selanjutnya menyebar kepada yang lainnya, dimulai dari keluarga, kerabat, teman dekat, tetangga dan yang lainnya, sampai batas pulau sekalipun. dengan cara ini pula penyebaran Islam di Nusantara semakin efektif dan semakin bertambah pengikutnya.
3.      Melalui Proses Pengajaran
Selain cara yang dijelaskan diatas, para pedagang dari Timur Tengah mengemban misi penyebaran agama Islam melalui pengajian, yaitu dengan membuka lembaga-lembaga pendidikan keagamaan yang selanjutnya dinamakan lembaga pendidikan pesantren. Perkembangan selanjutnya lembaga-lembaga pendidikan Islam atau organisasi keagamaan ini banyak ditemui di tanah air, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Persatuan Umat Islam (PUI), dan Persatuan Tarbiyah (Perti).
Melalui proses pengkaderan atau penggodokan itulah, muncul para ulama-ulama yang ahli dalama bidang agama islam. Para ulama yang telah memperoleh pendidikan tersebut, kemudian menyebarkan dan menjadi ujung tombak dalam ikut menyebarkan agama Islam. Semua kalangan menjadi garapannya, mulai kaum atas, hingga rakyat biasa


  1. Kerajaan Islam di Jawa
a. Kerajaan Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa setelah jatuhnya Kerajaan Hindu Majapahit. Kerajaan Islam di Jawa Tengah ini, semula bernama Glagahwangi, sebuah desa di sebelah selatan Jepara, hadiah dari Prabu Brawijaya V (Kertabumi, Raja Majalahit) pada putranya, Raden Fatah yang juga disebut Pangeran Jinggun. Disitulah didirikan pesantren masjid Agung Demak. Oleh Prabu Brawijaya, Raden Fatah diangkat menjadi Pangeran Adipati Bintara. Tahun 1478, Majapahit ditaklukan Prabu Giridrawardana dari Kediri yang mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VI. Peristiwa ini ditandai dengan canda sengkala “Sirna hilang kertaning bumi” (1478/1400 saka). Pada kesempatan ini, para wali mengangkat Raden Fatah sebagai pelanjut keturunan Brawijaya V sebagai Sultan di Bintara Demak dengan gelar Alam Akbar Al-Fatah.
Menurut sumber lain, Sunan Ampel memberi nama kepada Raden Fatah Senapati Jinbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Fatah memang lahir di Palembang. Menurut sejarah, ketika Raden Fatah masih dalam kandungan ibunya yang berasal dari Cina, ibu muda ini diceraikan oleh Brawijaya V dan dihadiahkan kepada Aryadama Adipati Palembang. Sementara itu, Prabu Brawijaya VI yang memerintah Majapahit pada tahun 1498 M dikalahkan oleh Prabu Udara yang kemudian menamakan dirinya Brawijaya VII.
Pada masa pemerintahan Sultan Trenggana ini, Demak mengalami masa kejayaan, tetapi juga merupakan akhir dari sejarahnya. Sultan Trenggana bercita-cita untuk mengislamkan seluruh Jawa. Untuk Jawa Barat pengislamannya diserahkan kepada pendatang yang luar pengetahuan islamnya, ahli dalam bidang strategi militer, dan cakap pula mengatur pemerintahan, yaitu Fatahillah atau Syarif Hidayatullah yang setelah wafat dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
b. Kerajaan Islam Pajang
Kesultanan Pajang merupakan kelanjutan dari Kerajaan Islam Demak, Sultan pertamanya ialah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan Arya Panangsang tahun 1546 M seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajanng, dan ia diberi gelar Sultan Adiwijaya.
Sepeninggal Sultan Adiwijaya tahun 1587 M kedudukannya digantikan oleh Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto. Sementara itu anak Sultan Adiwijaya yaitu Pangeran Benawa diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan bantuan Panembahan Senopati dari Mataram. Usahanya itu berhasil dan ia memberikan tanda terima kasih kepada Panembahan Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, Panembahan Senopati menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan Mataram yang kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
c. Kerajaan Islam Mataram
Setelah permohonan Panembahan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Dalam tradisi Jawa, penyerahan pusaka seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Panembahan Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M dan sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya bernama Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613M. Seda Ing Krapyak digantikan oleh putranya Sultan Agung (1913-1646M)
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak bersenjata antara Kerajaan Islam Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M ia digantikan oleh putranya Amangkurat I. pada saat terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit, ia mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya para ulama pendukung dibantai habis pada tahun 1947M. pemberontakan itu kemudian diteruskan pleh Raden Kajoran tahun 19677-1678M. pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan Kerajaan Islam Mataram.
d. Kerajaan Islam Cirebon
Kesultanan Cirebon merupakan kerajaan Ilam pertama di Daerah Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ia diperkirakan lahir tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. karena kedudukannya sebagai Walisongo, ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten. Pada tahun 1525 M ia kembali ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya yang bernama Sultan Hasanudin. Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat tahun 1650M dan digantikan oleh putranya yang bernama Panembahan Girilaya. Sepeninggalnya, kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan yang bergelar Syamsudin, sedangkan panembahan Anon memimpin Kesultanan Kanoman yang bergelar Badruddin.
e. Kerajaan Islam Banten
Kerajaan Banten merupakan kerajaan Islam yang terletak di ujung barat Jawa Barat, pendirinya adalah Sunan Gunung Jati (Fatahilah) setelah berhasil merebut kota pelabuhan dari tangan Bupati Sunda yang menjadi penguasa kota itu dengan bantuan laskar dari Demak. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1525 M
Setelah kerajaan itu cukup kokoh, lebih-lebih setelah dapat menguasai Sunda Kelapa, pada tahun 1522 Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon dan wafat disana, dan diangkatlah putranya, Hasanudin sebagai raja. Ia kawin dengan putri demak dan mendapat dua orang anak laki-laki. Yang sulung, Maulana Yusuf, dicalonkan untuk menjadi gantinya nanti. Adiknya, pangeran Aryo diasuh oleh bibi dari pihak ibunya Ratu Kalinyamat di Jepara yang tidak berputra (mungkin karena suaminya, Pangeran Hadiri terbunuh oleh Arya Penangsang). Setelah bibinya meninggal, ia menjadi adipati di Jepara dan terkenal dengan nama Pangeran Jepara.
Sultan Hasanudin wafat pada tahun yang sama dengan ayahnya, 1570 M setelah sempat memisahkan diri dari Demak. Dalam cerita Banten, ia terkenal dengan nama Anumerna Pangeran Saba Kingking sesuai dengan tempat ia dimakamkan yang tidak jauh dari Banten. Sebagai gantinya ia Maulana Yusuf Panembahan Pangkalan Gede, memerintah antara tahun 1570-1580. selama masa pemerintahannya, ia mendirikan Masjid Agung Banten, membuat perbentengan yang kuat, memperluas perkampungan dan pesawahan, serta mengusahakan irigasi dan bendungan-bendungan. Pada tahun 1579 M, ia berhasil menaklukan Raja Pakuan, benteng terakhir Hindu Jawa Barat. Menurut sejarah Banten, penyerbuan ke Pakuan ini mengikutsertakan para penguasa dan alim ulama. Raja dan keluarganya menghilang, sedangkan golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Sesudah selesai menaklukan Pakuan, Sultan Maulana Yusuf mendirikan ibukota baru, Banten Sura Sowan (Sura Saji).       
2.      Kerajaan Islam di Sumatera
a. Kerajaan Islam Samudera Pasai
Kerajaan Islam Sumadera Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan sekitar awal atau pertengahan abad ke-13 M sebagai hasil proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad ke-7 M dan seterusnya. Raja pertamanya adalah Malik Al-Saleh.
Dalam Hikayat raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al-Saleh.
Kerajaan Islam Samudera Pasai berlangsung sampai pada tahun 1524M. pada tahun 1521 M kerajaan ini ditaklukan oleh Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1524 M disebut oleh kerajaan Aceh, dibawah pimpinannya rajanya yaitu Ali Mughayat Syah.
b. Kerajaan Islam Aceh Darussalam
Kerajaan Islam Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-15 M. Pendirinya adalah Ali Mughayat Syah. Ia meluaskan wilayahnya ke daerah pidie yang bekerjasama dengan Portugis yang kemudian menaklukan kerajaan Islam Samudera Pasai tahun 1524M
Peletak dasar kebesaran Kerajaan Islam Aceh Darussalam ialah Sultan Alauddin Riayat Syah yang bergelar Al-Aqahar. Dalam menghadapi tentara Portugis, ia bekerjasama dengan Kerajaan Turki Usmani dan negara-negara Islam lainnya di Indonesia.Puncak kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam terjadi pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637M).
c. Kerajaan Islam di Sumatera Selatan
Dibukanya jalur perdagangan melalui Selat Malaka sebagai ganti jalur perdagangan di darat antara Arabia dengan Cina yang dirintis sejak 500 SM membuat daerah-daerah pantai di sepanjang pesisir timur Sumatera menjadi ramai. Seluruh kapal perdagangan yang melewati Selat Malaka perlu singgah untuk mempersiapkan air minum, makanan dan perbekalan lainnya di pantai-pantai tersebut. Dalam hal ini, Sriwijaya yang berpusat di Palembang tampil sebagai pemegang monopoli yang menguasai pantai-pantai di Selat Malaka sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yang besar dan kuat di Nusantara.
Diketahui bahwa Timur Tengah (Islam) menguasai jalur perdagangan laut ke timur dibanding barat. Dai-dai Islam yang datang bersama tentara Islam dan Sriwijaya. Palembang merupakan daerah yang strategis bagi masuknya Islam ke Sumatera Selatan. Namun demikian, belum bisa dipastikan adanya proses Islamisasi di Sumatera Selatan. Pada masa itu, belum ada bukti adanya orang-orang pribumi yang masuk Islam. Yang jelas, menurut Hasan Muarif Ambary, pada permulaan abad ke-7 di Palembang sudah ada masyarakat muslim yang oleh penguasa kerajaan Sriwijaya telah diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadat menurut agama Islam.
Setelah Majapahit jatuh, kemudian Demak berdiri, Palembang berada di bawah perlindungan Demak. Dengan demikian, Palembang menjadi bagian dari kerajaan Islam, sebagai daerah kekuasaan demak, penguasa demak, Raden Patah, menunjuk Pangeran dari Surabaya (Pangeran Sedo Ing Lautan) sebagai penguasa Demak di Palembang.
d. Kerajaan Islam di Minangkabau
  Ada dua teori mengenai masuknya Islam di Minangkabau. Pertama, seperti dikemukakan oleh Hamka bahwa Islam mencapai pedalaman Minangkabau melalui Pantai Timur Sumatera. Kedua, kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa kegiatan Islamisasi Minangkabau berkaitan dengan penguasaan Aceh atas Pantai Barat Sumatra, seperti Tiku dan Pariaman. Pelabuhan di Pantai Barat Sumatera Barat, sebagai tempat berdagang orang-orang Arab dan Gujarat memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam di pedalaman Minangkabau.
Nuqaib al-attas berpendapat bahwa Islam pertama kali disebarkan ke Pantai Barat Minangkabau pada abad ke-12 oleh Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman. Ia adalah murid Syekh Abdullah Arif, Muslim arab yang menyebarkan Islam ke Sumatera Utara sekitar tahun 1112.
De Graaf mengaitkan Islamisasi di pedalaman Minangkabau dengan peperangan antara aceh dengan penguasa-penguasa Minangkabau. Dilaporkan bahwa salah seorang penguasa Minangkabau telah mengawini putri Pangeran Aceh dan tetap tidak mau masuk Islam. Hal ini menimbulkan perselisihan dengan ayah mertuanya. Akibatnya, ia harus menyerahkan sejumlah besar wilayah Minangkabau. Peristiwa ini terjadi setelah dekade kedua pada abad ke-16. Kepemilikan Aceh atas pantai barat Minangkabau selanjutnya membawa kemajuan bagi kepentingan Islam.
Cepatnya penyebaran Islam di Minangkabau, menurut Christine Dobbin berkaitan erat dengan organisasi persaudaran sufi atau tarekat. Pada ulama tasawuf yang datang ke Minangkabau dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, mendirikan organisasi tarekat. Pada abad ke-18 di Minangkabau terdapat tiga aliran tarekat yaitu Naqsabandiyah, Syattariyyah, dan Qadiriyyah. Tarekat yang pertama kali masuk ke Minangkabau adalah Naqsabandiyah pada paruh pertama abad ke-17. berikutnya, tarekat Syattariyah dibawah Syekh Burhanuddin pada akhir abad ke-17. tarekat Qadiriyah memasuki Minangkabau pada akhir abad ke-18 semua tarekat mengembangkan organisasi tarekat dengan mendirikan surau. Oleh karena itu, surai disamping sebagai lembaga pendidikan juga sebagai kegiatan tarekat.
Pada akhir tahun 1803/1804, tiga orang penduduk asal Minangkabau pulang ibadah haji dari tanah suci Mekah. Mereka adalah Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang. Ketika mereka menjalankan ibadah haji, mereka telah menyaksikan serangan orang-orang wahabi ke Mekah atau paling tidak mereka telah mendengarkan ajaran-ajaran Wahabi yang akhir mempengaruhi mereka. Setelah mereka pulang ke Minangkabau mereka membawa semangat baru, kemudian mereka membandingkan kondisi masyarakat Minangkabau dengan ajaran-ajaran Wahabi. Mereka melihat perlu diadakan pembaruan tatanan sosial. Tujuan utama mereka ialah membersihkan masyarakat dari adat buruk yang menyimpang dari ajaran Islam. Menurut mereka, pembaruan sosial harus dilakukan dengan menyebarkan ajaran Wahabi dengan keras.
Pada awalnya, mereka mendapat perlawanan dari masyarakat. Namun lama kelamaan banyak tokoh agama yang tertarik dan mendukung mereka. Tuanku Nan Renceh, murid kesayangan Tuanku Nan Tua yang tidak setuju dengan militansi mereka, bergabung dengan Haji Miskin. Dari sinilah mulai terbentuknya gerakan Padri. Tuanku Nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tujuh tuanku, sebutan bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan agama secara mendalam di Agam Sumatera Barat. Karena kekerasan mereka, mereka dikenal denan Harimau Nan Delapan.
3.      Kerajaan Islam di Sulawesi
Dalam sumber-sumber sejarah di Sulawesi Selatan, dapat diketahui secara pasti kapan penguasa-penguasa masuk Islam. Hal ini disebabkan oleh Islamisasi yang terlambat. Dilaporkan bahwa awal pada abad ke-17 telah datang ke Sulawesi Selatan Tiga Datuk (Dato Tallua atau Dato’ Tellue) mereka adalah Dato ‘ri Bandang, nama aslinya Abdul Makmur. Dato ‘r Pattimang alias Sulaiman dan Dato ‘ri Tiro alias Abdul Jawad. Tempat yang pertama mereka tuju ialah Luwu’. Mereka mengajak penguasa luwu La Patiware untuk masuk Islam. Ajakan mereka disambut baik oleh Raja Luwu La Patiware Daeng Parabung yang mengucapkan syahadat pada tanggal 15 atau 16 Ramadhan 1013 H / Pebruari 1605. Namanya kemudian diganti menjadi Sultan Muhammad. Selanjutnya, tiga Datuk berangkat menuju kerajaan kembar Gowa Tallo, yang dikenal dengan Makassar atau Ujung Pandang. Gowa Tallo merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi Selatan pada waktu itu. Karena dakwah mereka, I Mallingkaang Daeng Manyonri Karaeng Katangka, penguasa Tallo dan perdana menteri Gowa, masuk Islam dengan diikuti beberapa anggota keluarganya. Ia melafazkan kalimat syahadat pada hari Jum’at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H / 22 September 1605 kemudian ia memakai nama Islam, Sultan Abdullah. Setelah masuk Islam. Ia mengajak penguasa muda Gowa yang juga kemenakannya. I Manga’rang Daeng Manrabbia untuk masuk Islam.
Dua tahun setelah Islamnya Sultan Abdullah diadakan salat Jum’at pertama di Masjid Tallo pada hari Jum’at 19 Rajab 1016H / 10 Nopember 1607. Salat Jum’at tersebut diikuti oleh sejumlah besar penduduk yang sebelumnya telah bersepakat masuk Islam. Dengan demikian, Makassar secara resmi menjadi kerajaan Muslim.
4.      Kerajaan Islam di Kalimantan
      Sebelum kedatangan para pedagang Arab, pedagang-pedagang Melayu dan perompak-perompak tertarik untuk menetap di Kalimantan, tujuan mereka adalah untuk mendulang emas dan berlian. Mereka kemudian mendirikan kota-kota di muara sungai. Pada perkembangan berikutjya, mereka tersebut sampai ke hulu. Selanjutnya mereka hidup mapan disana. Ketika para pendakwah sekaligus sebagai pedagang dari Arab datang ke Kalimantan mereka memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat dan mengajak untuk memeluk Islam. Berikutnya, penyebaran Islam dilakukan oleh para dai dari Sumatra, Jawa dan dari daerah lainnya.
Di Kalimantan pelabuhan yang terkenal adalah Brunei. Oleh karena itu seluruh pulau itu dikenal dengan nama Brunei atau Borneo bagi orang-orang Portugis.
Penyebaran Islam di Kalimantan Selatan banyak dilakukan oleh orang-orang Jawa. Jauh sebelum mencapai daerah ini, orang-orang Jawa berlayar kemudian menetap di Kalimantan Selatan.
Penyebaran Islam di Kalimantan banyak dilakukan oleh para mubalig dari Jawa. Hal ini bisa terjadi karena hubungan masyarakat antara dua kepulauan sudah terjalin sejak masa pemerintahan Majapahit dengan Kerajaan Kutai. Oleh karena itu para mubalig pada masa berikutnya hanya melanjutkan hubungan telah terjalin cukup lama. Diantara mubalig yang datang ke Kalimantan adalah Khatib Dayyan serta mubalig dari Banjar yaitu Muhammad Arsyad Al Banjari yang menegakkan tonggak ajaran Islam di Kalimantan pada abad ke-18 M.

Walisongo (Wali Sembilan)
Di kalangan masyarakat Islam Jawa, banyak orang mempercayai bahwa wali yang menyebarkan Islam di Jawa berjumlah sembilan orang, sesuai dengan kata “songo”. Sebenarnya jumlah mereka tidak tepat sembilan, tetapi lebih. Namun lebih dikenal adalah sembilan wali (wali songo)
1.        Sunan Gresik (Malik Ibrahim, Maulana)
Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Magribi yang dalam babad Jawa disebut Makdum Brahim Asmara. Beliau adalah saudara Maulana Ishak dengan memperistri putri Campa dan melahirkan dua orang putra, yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan Syaid Aki Murtadha atau Raden Santri. Beliau adalah putra dari Raden Jumadil Qubro. Maulana Malik Ibrahim datang ke Jawa tahun 1404 M yang menurut Babad Tanah Jawi bukan datang dari Campa, tetapi menurut namanya beliau berasal dari Samarkandi di Asia Kecil. Pernyataan dari Babad Tanah Jawi tidak bertentangan, sebab dari Asia Kecil beliau bermukim dulu di Campa.
Maulana Malik Ibrahim menyebarkan agama Islam dengan cara melayani kebutuhan sehari-hari masyarakat yang diajaknya. Beliau dakwah dengan diplomasi yang ulung, tidak menyinggung perasaan orang yang didakwahnya, bahkan membesarkan hati. Hal tersebut menunjukkan betapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh syekh Maulana Malik Ibrahim. Hal ini dapat diketahui dalam kisah-kisah yang pernah dialaminya, misalnya dalam kisah tentang Kepala perampok. Maulana Malik Ibrahim tidak turun sendiri dalam menghadapinya, tetapi murid-muridnya saja dapat mengalahkan kepala perampok. Maka, dapat disimpulkan betapa saktinya dia.
Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419 M dan dimakamkan di Gresik pada nisanya terdapat tulisan Arab yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang penyebar agama yang cakap dan gigih. Dalam bahasa Indonesia tulisan itu berbunyi :”inilah makam almarhum almagfur yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, sendi pada sultan dan para menteri, penolong para fakir miskin, yang berbahagia dan syahid cemerlangnya simbol negara dan agama” Maulana malik ibrahim terkenal dengan nama Kake Bantal.
2.        Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401- Ampel, Surabaya 1481 M)
Nama aslinya Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Sunan Ampel adalah penerus cita-cita serta perjuangan Maulana Malik Ibrahim dan terkenal sebagai perencana pertama kerajaan Islam di Jawa; ia memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya, sehingga ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Di pesantren inilah Sunan Ampel mendidik para pemuda Islam untuk menjadi tenaga da’i yang akan disebar ke seluruh Jawa. Diantara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri, Raden yang kemudian menjadi sultan pertama kesultanan Islam di Bintoro, demak, Raden Makdum Ibrahim (Putra Sunan Ampel sendiri) yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Bonang Syaridudin yang kemudian dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus ke daerah blambangan untuk mengislamkan rakyat di sana dan banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam Islamisasi Pulau Jawa.
Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa dengan ibu kota di Bintoro, Demak. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak, yang dipandang punya jasa paling besar dalam meletakkan peran politik umat Islam di Nusantara. Disamping itu Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali yang lain. Ketika mendirikan Masjid tersebut, para wali mengadakan pembagian tugas. Sunan Ampel diserahi tugas memuat salah satu dari saka guru (tiang kayu raksasa) yang kemudian dipasang di bagian tenggara. Tiga tiang besar yang lain dikerjakan oleh Sunan Kalijaga untuk tiang sebelah timur laut (bukan berupa tiang utuh, tetapi berupa beberapa balok yang diikat menjadi satu yang disebut “saka tatal”) Sunan Bonang untuk tiang sebelah barat timur, Sunan Gunung Jati untuk tiang sebelah barat daya, sementara bagian-bagian lain masjid dikerjakan oleh para wali yang lain
3.         Sunan Bonang (Ampel Denta, Surabaya 1465 – Tuban 1525)
Dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Ia adalah putra Raden Rahmat dari perkawinannya dengan Dewi Candrawati dan merupakan Saudara sepupuh Sunan Kalijaga. Ia terkenal dengan nama Raden Maulana Makhdum Ibrahim atau Raden Ibrahim (Makhdum adalah gelar yang biasa diberikan kepada seorang ulama besar di India dan berarti orang yang dihormati). Dari perkawinannya dengan Dewi Hiroh ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Rukhil yang kemudian diperistri Sunan Kudus. Setelah belajar Islam di Pasai, Aceh Sunan Bonang kembali ke Tuhan, Jawa Timur untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Setelah sunan Ampel wafat, pesantren yang ditinggalkannya tidak lagi mempunyai pemimpin resmi. Maka untuk mengisi kekosongan itu, Sunan Bonang memprakarsai musyawarah para wali untuk membicarakan siapa yang akan memimpin pesantren tersebut. Hasil musyawarah wali memutuskan untuk mengangkat Raden Fatah menjadi pengganti almarhum Sunan Ampel.
Sunan Bonang memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada Raden Fatah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V yang kemudian menjadi sultan pertama Demak. Catatan-catatan pendidikan tersebut kini dikenal dengan “Suluk Sunan Bonang” atau “Primbon Sunan Bonang” Isi buku tersebut berbentuk prosa ala Jawa Tengah, kalimatnya sangat banyak dipengaruhi bahasa Arab, dan sampai sekarang masih tersimpan di Universitas Leiden Negeri Belanda.
4.         Sunan Giri (Blambangan, Pertengahan abad Ke-15 – Giri 1500 M)
Nama aslinya Raden Paku, disebut juga Prabu Satmata dan kadang-kadang disebut Sultan Abdul Fakih. Ia adalah putra dari Maulana Ishak yang ditugaskan Sunan Ampel untuk mengembangkan agama Islam di Blambangan. Salah seorang saudaranya juga termasuk Walisongo, yaitu Raden Fatah (Sunan Gunung Jati) dan ia mempunyai hubungan keluarga dengan Raden Fatah karena istri mereka bersaudara.
Ketika usianya beranjak dewasa, Raden Paku belajar agama di Pondok Pesantren Ampel Denta (pimpinan Sunan Ampel) dan disana bertema baik degan Raden Maulana Makdum Ibrahim, putra Sunan Ampel yang kemudian terkenal dengan Sunan Bonang. Dalam suatu perjalanan ibadah haji menuju Mekah, kedua santri ini lebih dahulu memperdalam pengetahuan di Pasai yang ketika itu menjadi tempat berkembangnya ilmu ketuhanan, keimanan dan tasawuf. Disini Raden Paku sampai pada tingkat ilmu laduni sehingga gurunya menganugrahinya gelar Ai Al Yaqin karena itulah ia kadang-kadang dikenal masyarakat dengan sebutan Raden Ainul Yakin.
Sunan Giri terkenal sebagai pendidik yang berjiwa demokratis. Ia mendidik anak-anak melalui berbagai permainan yang berjiwa agama. Misalnya jelungan, jamuran, gendi ferit, jor, gula ganti, cublak-cublak suweng, ilir-ilir dan sebagainya. Ia juga dipandang sebagai orang yang sangat berpengaruh terhadap jalannya roda kesultanan Demak Bintoro (Kesultanan Demak) sebab setiap kali muncul masalah penting yang harus diputuskan wali yang lain selalu menantikan keputusan dan pertimbangannya.
5.         Sunan Drajat (Ampel Denta, Surabaya, sekitar Tahun 1470 Sedayu, Gresik pertengahan abad ke-16)
Nama aslinya Raden Kosim atau Syarifudin tetapi karena ia dimakamkan di daerah Sedayu, maka kebanyakan masyarakat awam mengenalnya sebagai Sunan Sedayu.Menurut Silsilah, Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dari istri kedua bernama Dewi Candrawati. Ia mempunyai enam saudara seayah seibu diantaranya Siti Syareat (istri Raden Usman Haji), Siti Mutma’innah (Istri Raden Muhsin), Siti Sofiah (istri Raden Usman Ahmad, Sunan Malaka), dan Raden Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), disamping itu ia mempunyai dua orang saudara seayah lain ibu yaitu Dewi Murtasiyah (istri Raden Fatah) dan Dewi Murtasimah (istri Raden Paku atau Sunan Giri), Istrinya sendiri Dewi Sifiyah adalah putri Sunan Gunung Jati.
Hal yang paling menonjol dalam dakwah Sunan Drajat adalah perhatiannya yang sangat serius pada masalah-masalah sosial. Ia terkenal mempunyai jiwa sosial dan tema-tema dakwahnya selalu berorientasi pada kegotongroyongan. Ia selalu memberi pertolongan kepada umum, menyantuni anak yatim dan fakis miskin sebagai suatu proyek sosial yang dianjurkan agama Islam.
6.         Sunan Kalijaga (akhir Abad ke-14 Pertengahan abad ke-15)
Terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa besar, berpandangan jauh berpikiran tajam, intelek, serta berasal dari suku Jawa Asli. Nama Kalijaga konon berasal dari rangkaian bahasa Arab qadi zaka yang berarti pelaksana dan membersihkan. Qadizaka yang kemudian menurut lidah dan ejaan menjadi Kalijaga berarti pemimpin atau pelaksana yang menegakkan kebersihan atau kesucian. Nama Asli Sunan Kalijaga adalah Raden Mas Syahid dan kadang-kadang dijuluki Syekh Malaya. Ayahnya bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta yang menjadi bupati Tuban, sedang ibunya bernama Dewi Nawang Rum.
Daerah operasi dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas, bahkan sebagai mubaligh ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Karena sistem dajwahnya yang intelek dan aktual maka para bangsawan dan cendekiawan sangat simpati terhadapnya, demikian juga lapisan masyarakat awam, bahkan penguasa, berdakwahnya tidak monoton, sesekali diisi dengan cerita-cerita humor yang mendidik, sekaligus menarik perhatian.
Jasa Sunan Kalijaga terhadap kesenian bukan hanya terlihat pada wayang dan gamelan, tetapi juga dalam seni suara, seni ukir, seni busana, seni pahat dan kesusastraan. Banyak corak batik yang oleh Sunan Kalijaga diiberi motif burung. Burung dalam bahasa Kawi disebut kukula. Kata tersebut ditulis dalam Bahasa Arab menjadi qu dan qila yang berarti “peliharalah ucapanmu sebaik-baiknya” dan menjadi salah satu ajaran etik Sunan Kalijaga melalui corak batik.
7.         Sunan Kudus (Abad ke-15 – Kudus 1550)
Nama aslinya Ja’far Sadiq, tetapi sewaktu kecil dipanggil Raden Undung. Kadang-kadang ia dipanggil dengan Raden Amir Haji, sebab ketika menunaikan ibadah haji ia bertindak sebagai pimpinan rombongan (amir).
Sunan Kudus adalah putra Raden Usman Haji, yang menyiarkan Islam di daerah Jipang Panolan, Blora. Menurut silsilah Sunan Kudus masih mempunyai hubungan keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. Silsilah selengkapnya : Ja’far Sadiq bin Raden Usman Haji bin Raden Pendeta bin Ibrahim as-Samarkandi bin Maulana Muhammad Jumadalkubra bin Zaini Al-Husein bin Zaini Al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainul Abidin bin Sayid Husein bin Ali ra.
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya dan dia memiliki keahlian khusus dalam bidang ilmu agama, terutama dalam ilmu fikih, usul fikih, tauhid, hadits, tafsir, serta logika. Karena itulah diantara Walisongo hanya ia yang mendapat julukan Wal Al-ilmi (orang yang luas ilmunya) dan karena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Disamping menjadi juru dakwah, Sunan Kudus juga menjadi panglima perang Kesultanan Demak Bintoro yang tangguh dan dipercaya untuk mengendalikan pemerintahan sekaligus pemimpin agama di daerah tersebut.
8.         Sunan Muria (abad ke-15 – abad ke-16)
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan Islam di pedesaan Pulau Jawa adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Said, atau Raden Said sedang nama kecilnya adalah Raden Prawoto, namun ia lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18 km di sebelah utara kota Kudus sekarang).
Sunan Muria juga terkenal sebagai pendukung setia Kesultanan Demak Bintoro dan berperan serta dalam mendirikan Masjid Demak. Dalam rangka dakwah melalui budaya ia menciptakan tembang dakwah Sinon dan Kinanti.
9.         Sunan Gunung Jati (Mekah, 144-Gunung Jati, Cirebon Jawa Barat 1570)
Salah seorang dari Walisongo yang bayak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa terutama di Jawa Barat juga pendiri kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah dialah pendiri Dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Sunan Gunung Jati adalah cucu raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan nyai Subang Larang, lahirlah dua putra dan satu putri, masing-masing bernama Raden Walangsungsang, Nyi Lara Santang dan Raja Sengara.
Setelah Nyai Subang Larang wafat, Raden Walangsungsang keluar dari keraton tidak lama setelah itu adik perempuannya menyusul. Keduanya belajar agama Islam kepada Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati) di Gunung Jati Ngamparan Jati. Setelah 3 tahun belajar, mereka diperintahkan gurunya utuk ibadah haji ke Mekah. Di Mekah, Nyai Lara Santang mendapat jodoh yaitu Maulana Sultan Mahmud (Syarif Abdullah) seorang bangsawan Arab yang berasal dari Bani Hasyim.
Setelah menunaikan ibadah Haji, Raden Walangsungsang kembali ke Jawa dan menjadi juru labuhan di Pasambangan yang kemudian berkembang menjadi Cirebon. Sementara itu Nyai Larang Santang melahirkan Syarif Hidayatullah setelah dewasa, Syarif Hidayatullah memilih berdakwah ke Jawa daripada menetap di tanah Arab. Dia kemudian menemui Raden Walangsungsang yang sudah bergelar Pangeran Cakrabuana. Setelah pamannya itu wafat, ia menggantikan kedudukannya dan kemudian berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi sebuah kesultanan, ia kemudian terkenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati sebagai salah seorang Walisongo mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa seperti Kerajaan Demak dan Pajang. Karena kedudukannya sebagai raja dan ulama ia diberi gelar Raja Pandita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar