Proses Masuk dan Perkembangan
Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha
Pada permulaan tarikh masehi, di Benua Asia terdapat dua negeri besar yang
tingkat peradabannya dianggap sudah tinggi, yaitu India dan Cina. Kedua negeri
ini menjalin hubungan ekonomi dan perdagangan yang baik. Arus lalu lintas
perdagangan dan pelayaran berlangsung melalui jalan darat dan laut. Salah satu
jalur lalu lintas laut yang dilewati India-Cina adalah Selat Malaka. Indonesia yang terletak di jalur posisi
silang dua benua dan dua samudera, serta berada di dekat Selat Malaka memiliki
keuntungan, yaitu:
- Sering dikunjungi bangsa-bangsa asing, seperti India, Cina, Arab, dan Persia,
- Kesempatan melakukan hubungan perdagangan internasional terbuka lebar,
- Pergaulan dengan bangsa-bangsa lain semakin luas, dan
- Pengaruh asing masuk ke Indonesia, seperti Hindu-Budha.
Keterlibatan
bangsa Indonesia dalam kegiatan perdagangan dan pelayaran internasional
menyebabkan timbulnya percampuran budaya. India merupakan negara pertama yang
memberikan pengaruh kepada Indonesia, yaitu dalam bentuk budaya Hindu. Ada beberapa hipotesis yang dikemukakan
para ahli tentang proses masuknya budaya Hindu-Buddha ke Indonesia.
1. Hipotesis Brahmana
1. Hipotesis Brahmana
Hipotesis
ini mengungkapkan bahwa kaum brahmana amat berperan dalam upaya penyebaran
budaya Hindu di Indonesia. Para brahmana mendapat undangan dari penguasa
Indonesia untuk menobatkan raja dan memimpin upacara-upacara keagamaan. Pendukung hipotesis ini adalah Van Leur.
2. Hipotesis Ksatria
Pada
hipotesis ksatria, peranan penyebaran agama dan budaya Hindu dilakukan oleh
kaum ksatria. Menurut hipotesis ini, di masa lampau di India sering terjadi
peperangan antargolongan di dalam masyarakat. Para prajurit yang kalah atau
jenuh menghadapi perang, lantas meninggalkan India. Rupanya, diantara mereka
ada pula yang sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha
mendirikan koloni-koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula
terjadi proses penyebaran agama dan budaya Hindu. F.D.K. Bosch adalah salah seorang pendukung hipotesis ksatria.
3. Hipotesis Waisya
Menurut para
pendukung hipotesis waisya, kaum waisya yang berasal dari kelompok pedagang
telah berperan dalam menyebarkan budaya Hindu ke Nusantara. Para pedagang
banyak berhubungan dengan para penguasa beserta rakyatnya. Jalinan hubungan itu
telah membuka peluang bagi terjadinya proses penyebaran budaya Hindu. N.J. Krom adalah salah satu pendukung
dari hipotesis waisya.
4. Hipotesis Sudra
Von van Faber mengungkapkan bahwa peperangan yang
tejadi di India telah menyebabkan golongan sudra menjadi orang buangan. Mereka
kemudian meninggalkan India dengan mengikuti kaum waisya. Dengan jumlah yang
besar, diduga golongan sudralah yang memberi andil dalam penyebaran budaya
Hindu ke Nusantara.
Selain pendapat di atas, para ahli menduga banyak pemuda di wilayah Indonesia yang belajar agama Hindu dan Buddha ke India. Di perantauan mereka mendirikan organisasi yang disebut Sanggha. Setelah memperoleh ilmu yang banyak, mereka kembali untuk menyebarkannya. Pendapat semacam ini disebut Teori Arus Balik.
Pada umumnya
para ahli cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa masuknya budaya Hindu ke Indonesia itu dibawa dan disebarluaskan
oleh orang-orang Indonesia sendiri. Bukti tertua pengaruh budaya India
di Indonesia adalah penemuan arca perunggu Buddha di daerah Sempaga (Sulawesi
Selatan). Dilihat dari bentuknya, arca ini mempunyai langgam yang sama dengan
arca yang dibuat di Amarawati (India). Para ahli memperkirakan, arca Buddha
tersebut merupakan barang dagangan atau barang persembahan untuk bangunan suci
agama Buddha. Selain itu, banyak pula ditemukan prasasti tertua dalam bahasa
Sanskerta dan Malayu kuno. Berita yang disampaikan prasasti-prasasti itu
memberi petunjuk bahwa budaya Hindu menyebar di Kerajaan Sriwijaya pada abad
ke-7 Masehi.
A. Kerajaan
Kutai
1. Sejarah
Sejarah mengenai kerajaan Kutai berikut terbagi menjadi dua fase: (1), era
Kutai Martadipura, dan (2), era Kutai Kartanegara. Berikut ini sekilas
sejarahnya.
a. Kutai Martadipura
Berdasarkan data tektual tertua yang ditemukan, Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini
diperkirakan muncul pada abad 5 M,
atau ± 400 M. Keberadaan kerajaan tersebut diketahui berdasarkan
prasasti berbentuk Yupa/tiang batu berjumlah 7 buah, yang ditemukan di daerah Muara Kaman, Kabupaten Kutai
Kartanegara. Prasasti Yupa yang menggunakan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta tersebut menceritakan tentang seorang raja bernama Mulawarman, yang
menjadi raja di Kerajaan Kutai Martadipura. Raja Mulawarman adalah putra Raja
Aswawarman, dan cucu dari Maharaja Kudungga. Pengetahuan mengenai keberadaan
Kerajaan Kutai Martadipura ini sangat minim. Selama ini, para arkeologi amat
bertumpu pada informasi tertulis yang terdapat pada prasasti dan Salasilah
Kutai.
b. Kutai
Kartanegara Ing Martadipura
Secara umum, penelitian sejarah mengenai Kutai amat kurang. Bahkan, situs
purbakala tempat ditemukannya peninggalan Kerajaan Kutai banyak yang rusak
akibat kegiatan penambangan. Periode gelap sejarah Kutai ini sedikit terkuak
pada abad 13 ke atas, seiring berdirinya Kerajaan Kutai Kartanegara, dengan raja pertama Aji Batara Agung Dewa Sakti
(1300-1325). Pusat kerajan berada di Tepian Batu atau Kutai Lama. Dalam
perkembangannya, Raja Kutai Kartanegara, Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa
berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura pada abad ke-16, dan
menyatukannya dengan kerajaannya, Kutai Kartanegara. Selanjutnya, gabungan dua
kerajaan tersebut dinamakannyaKutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17, Islam mulai mulai
masuk dan diterima dengan baik di Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya, Islam
menjadi agama resmi di kerajaan ini, dan gelar raja diganti dengan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan
nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778). Di era
pemerintahan Sultan Aji Muhammad Idris, ia bersama pengikutnya berangkat ke
daerah Wajo untuk membantu Sultan Wajo Lamaddukelleng yang juga menantunya itu,
berperang melawan VOC Belanda. Selama Sultan pergi, kerajaan dipimpin oleh
sebuah Dewan Perwalian. Pada tahun
1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, tahta
kerajaan direbut oleh Aji Kado, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta
kerajaan. Dalam peristiwa perebutan tahta ini, Putera Mahkota Aji Imbut yang masih kecil terpaksa dilarikan ke Wajo,
tanah kakeknya. Sejak itu, Aji Kado
secara resmi berkuasa di Kutai dengan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang sah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan
Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu,
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado. Perlawanan berlangsung dengan cara
mengembargo Pemarangan, ibukota Kutai Kartanegara.Dalam perlawanan ini, Aji
Imbut dibantu oleh para bajak laut dari Sulu. Pemarangan mengalami kesulitan
untuk menumpas blokade Aji Imbut yang dibantu para bajak laut ini. kemudian Aji
Kado meminta bantuan VOC, namun tidak bisa dipenuhi oleh Belanda. Akhirnya, Aji Imbut berhasil merebut kembali tahta
Kutai Kartanegara dan menjadi raja dengan gelar Sultan Aji Muhammad
Muslihuddin. Sementara Aji
Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan. Setelah menjadi
raja, Aji Imbut memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian
Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk
menghapus kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado, dan juga, Pemarangan
(ibukota sebelumnya)dianggap telah kehilangan tuahnya. Karena raja berpindah ke
Tepian Pandan, maka nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung
yang berarti Rumah Raja. Lambatlaun, Tangga Arung disebut orang dengan
Tenggarong. Nama tersebut tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 1883, Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji
Muhammad Salehuddin.
c. Era
Kolonial Eropa
Hubungan dengan Eropa diawali dengan datangnya dua buah kapal dagang
Inggris pimpinan James Erskine Murray pada tahun 1844. Inggris datang untuk
meminta tanah tempat mereka mendirikan pos dagang. Inggris juga menuntut hak
eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Permintaan Inggris
ditolak Sultan A.M. Salehuddin. Selanjutnya, Sultan hanya mengizinkan Murray
berdagang di wilayah Samarinda saja. Murray tidak puas dengan keputusan Sultan
ini. Karena itu, Murray kemudian melepaskan tembakan meriam ke arah istana.
Pasukan kerajaan Kutai melakukan perlawanan hingga mereka berhasil mengalahkan
Inggris.
Pasukan Inggris melarikan diri, sementara Murray sendiri tewas dalam
pertempuran tersebut.
Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya
Inggris hendakmelakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh
pihak Belanda, bahwa Kutai adalah salah satu bagian wilayah Hindia Belanda.
Oleh karena itu, masalah ini menjadi tanggungjawab Belanda. Sebagai tindak
lanjut, Belanda kemudian mengirimkan armadanya untuk menyerang Kutai. Dalam
pertempuran mempertahankan Tenggarong, Panglima Kutai Awang Lor gugur di medan
pertempuran. Sementara Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Sejak
saat itu, Kutai takluk di bawah kekuasaan Belanda. Sebagai tindak lanjut,
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda, yang berisi pengakuan dan ketundukan pada Belanda. Perwakilan
Belanda berkedudukan di Banjarmasin. Pada
tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa, Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia
Belanda. Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di
Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga
meletakkan dasar bagi eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Royalti atas
pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai kembali
harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Ketika itu, Jepang memberi Sultan
gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Ketika
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status
Daerah Swapraja, masuk dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah
kesultanan lainnya, seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir.
Kemudian dibentuk pula Dewan Kesultanan. Pada
27 Desember 1949, Kutai masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
2. Silsilah
Hingga saat ini, para arkeolog belum mengetahui secara lengkap silsilah
para raja di era Kutai Martadipura. Tapi diyakini bahwa, pendiri keluarga atau
dinasti kerajaan ini adalah Aswawarman. Dalam prasasti Yupa juga dijelaskan
bahwa, Aswawarman disebut sebagai Dewa Ansuman/Dewa Matahari dan dipandang
sebagai Wangsakerta, atau pendiri keluarga raja. Ini menunjukkan bahwa,
Asmawarman sudah menganut agama Hindu dan dipandang sebagai pendiri keluarga
atau dinasti dalam Agama Hindu. Sebelum Aswawarman, yang berkuasa di Kutai
Martadipura adalah Maharaja Kudungga. Berbeda dengan Kutai Martadipura, silsilah
para raja di era Kutai Kartanegara yang berdiri di abad ke-13 bisa dilacak
secara lengkap. Berikut urutan
raja-raja yang berkuasa hingga saat ini.
1. Aji
Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)
2. Aji
Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)
3. Aji
Maharaja Sultan (1360-1420)
4. Aji Raja
Mandarsyah (1420-1475)
5. Aji
Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)
6. Aji Raja
Mahkota Mulia Alam (1545-1610)
7. Aji
Dilanggar (1610-1635)
8. Aji
Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)
9. Aji
Pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)
10. Aji
Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)
11. Aji Ragi
gelar Ratu Agung (1686-1700)
12. Aji
Pangeran Dipati Tua (1700-1730)
13. Aji
Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1730-1732)
14. Aji
Muhammad Idris (1732-1778)
15. Aji
Muhammad Aliyeddin (1778-1780)
16. Aji
Muhammad Muslihuddin (1780-1816)
17. Aji
Muhammad Salehuddin (1816-1845)
18. Aji
Muhammad Sulaiman (1850-1899)
19. Aji
Muhammad Alimuddin (1899-1910)
20. Aji
Muhammad Parikesit (1920-1960)
21. H. Aji Muhammad Salehuddin II
(1999-kini)
3. Periode
Pemerintahan
Jika
dirunut, masa pemerintahan Kutai Martadipura berlangsung sejak masa Kudungga
pada abad ke-5 hingga digabungnya
kerajaan ini pada abad ke-13 ke dalam Kerajaan Kutai Kartanegara akibat kalah
perang. Sementara Kerajaan Kutai Kartanegara berlangsung sejak abad
ke-13 hingga saat ini.
4. Wilayah
Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kutai Martadipura mencakup wilayah Kalimantan Timur saat
ini, terutama daerah aliran Sungai Mahakam. Sementara wilayah kekuasaan Kutai
Ing Martadipura, mencakup wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kutai Barat, Kutai Timur, Bontang , Samarinda dan Balikpapan.
5. Struktur
Pemerintahan
Belum
didapat data arkeologis yang lengkap mengenai sistem dan struktur pemerintahan
di Kerajaan Kutai. Dari data arkeologis yang menunjukkan pengaruh Hindu di
Kerajaan ini, maka bisa disimpulkan bahwa Kerajaan
ini dipimpin oleh seorang raja. Namun, tidak bisa dilacak lebih lanjut,
bagaimana struktur pemerintahan yang lebih rendah.
6. Kehidupan
Sosial-Budaya
Sejarah
Kerajaan Kutai Martadipura merupakan periode yang masih gelap. Sedikit sekali
bukti-bukti arkeologis yang ditemukan untuk mngugnkap sejarah tersebut. Selama
ini, bukti tersebut terlalu bersadnar pada penemuan 7 prasasti Yupa, ditambah
naskah Salasilah Kutai. Namun, dari data yang masih sangat minim tersebut, bisa
diungkap sedikit tentang kehidupan sosial budaya di masa lalu.
a. Kehidupan
Sosial
Dalam kehidupan sosial terjalin hubungan yang harmonis antara Raja
Mulawarman dengan kaum Brahmana. Dalam prasasti Yupa dijelaskan bagaimana Raja
Mulawarman memberi persembahan emas yang sangat banyak, dan juga sedekah 20.000
ekor sapi kepada kaum Brahmana di dalam tanah yang suci bernama Waprakeswara.
Waprakeswara adalah tempat suci untuk memuja dewa Syiwa. Di pulau Jawa, tanah
suci ini disebut Baprakewara. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi
tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat
lain, maka, bisa disimpulkan bahwa kerajaan
Kutai telah melakukan kegiatan dagang.
b. Kehidupan
Budaya
Dalam
kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah cukup maju. Hal ini bisa
dilihat dari prosesi penghinduan
(pemberkatan memeluk agama Hindu), atau disebut juga upacara Vratyastoma yang telah
dilakukan di kerajaan ini. Upacara Vratyastoma dilaksanakan pertama kalinya di
era pemerintahan Aswawarman. Pemimpin upacara Vratyastoma, menurut para ahli
adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman,
kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum
Brahmana pribumi. Keberadaan kaum Brahmana dari penduduk pribumi menunjukkan mereka telah memiliki kemampuan
intelektual yang cukup tinggi, sebab untuk menjadi Brahmana
mensyaratkan penguasaan bahasa Sanskerta. Selain itu, dari berbagai benda
purbakala yang berhasil ditemukan di Kalimantan Timur, menunjukkan di kawasan
tersebut telah eksis suatu komunitas budaya dengan peradaban yang cukup tinggi.
Bahkan ada yang memperkirakan eksistensi komunitas budaya ini telah ada sejak
ribuan tahun yang lalu, di masa pra sejarah. Di antara temuan yang sangat
menarikadalah goa-goa di Kalimantan Timu, di kawasan Gunung Marang, sekitar 400
kilometer utara Balikpapan. Dalam goa tersebut, juga ditemukan pecahan-pecahan
perkakas tembikar dan sejumlah makam. Goa yang berfungsi sebagai tempat tinggal
ini juga dilengkapi dengan hiasan-hiasan atau lukisan purbakala pada
dindingnya. Temuan ini diduga berasal dari zaman prasejarah yang telah berusia
10.000 tahun. Ini menunjukkan kawasan ini telah cukup maju. Dalam penggalian
lain di situs sejarah Kerajaan Kutai, juga ditemukan berbagai artefak, seperti
reruntuhan candi berupa peripih, manik-manik, gerabah, patung perunggu dan
keramik yang sangat indah.
B. Kerajaan
Tarumanegara
Kerajaan
Tarumanegara Atau Taruma Adalah Sebuah Kerajaan
Yang Pernah Berkuasa Di Wilayah Pulau Jawa Bagian Barat Pada Abad Ke-4 Hingga
Abad Ke-7 M, Yang Merupakan Salah Satu Kerajaan Tertua Di Nusantara
Yang Diketahui. Dalam Catatan, Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Adalah Kerajaan Hindu Beraliran Wisnu. Kerajaan Tarumanegara Didirikan Oleh
Rajadirajaguru Jayasingawarman Pada Tahun 358, Yang Kemudian Digantikan Oleh Putranya, Dharmayawarman
(382-395). Jayasingawarman Dipusarakan Di Tepi Kali Gomati, Sedangkan Putranya
Di Tepi Kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman Adalah Raja Kerajaan Tarumanegara
Yang Ketiga (395-434 M). Ia Membangun Ibukota Kerajaan Baru Pada Tahun
397 Yang Terletak Lebih Dekat Ke Pantai. Dinamainya Kota Itu Sundapura Pertama
Kalinya Nama " Sunda " Digunakan. Pada Tahun 417 Ia Memerintahkan Penggalian Sungai Gomati Dan
Candrabaga Sepanjang 6112 Tombak (Sekitar 11 Km). Selesai Penggalian,
Sang Prabu Mengadakan Selamatan Dengan Menyedekahkan 1.000 Ekor Sapi Kepada
Kaum Brahmana.
Prasasti
Pasir Muara Yang Menyebutkan Peristiwa Pengembalian Pemerintahan Kepada Raja
Sunda Itu Dibuat Tahun 536 M. Dalam Tahun Tersebut Yang Menjadi Penguasa Kerajaan
Tarumanegara Adalah Suryawarman (535 - 561 M) Raja Kerajaan Tarumanegara Ke-7.
Pustaka Jawadwipa, Parwa I, Sarga 1 (Halaman 80 Dan 81) Memberikan Keterangan
Bahwa Dalam Masa Pemerintahan Candrawarman (515-535 M), Ayah Suryawarman,
Banyak Penguasa Daerah Yang Menerima Kembali Kekuasaan Pemerintahan Atas
Daerahnya Sebagai Hadiah Atas Kesetiaannya Terhadap Kerajaan Tarumanegara.
Ditinjau Dari Segi Ini, Maka Suryawarman Melakukan Hal Yang Sama Sebagai
Lanjutan Politik Ayahnya.
Rakeyan Juru Pengambat Yang Tersurat Dalam Prasasti
Pasir Muara Mungkin Sekali Seorang Pejabat Tinggi Kerajaan Tarumanegara Yang
Sebelumnya Menjadi Wakil Raja Sebagai Pimpinan Pemerintahan Di Daerah Tersebut.
Yang Belum Jelas Adalah Mengapa Prasasti Mengenai Pengembalian Pemerintahan
Kepada Raja Sunda Itu Terdapat Di Sana? Apakah Daerah Itu Merupakan Pusat
Kerajaan Sunda Atau Hanya Sebuah Tempat Penting Yang Termasuk Kawasan Kerajaan
Sunda? Baik Sumber-Sumber Prasasti Maupun Sumber-Sumber Cirebon Memberikan
Keterangan Bahwa Purnawarman Berhasil Menundukkan Musuh-Musuhnya. Prasasti
Munjul Di Pandeglang Menunjukkan Bahwa Wilayah Kekuasaannya Mencakup Pula
Pantai Selat Sunda. Pustaka Nusantara, Parwa II Sarga 3 (Halaman 159 - 162)
Menyebutkan Bahwa Di Bawah Kekuasaan Purnawarman Terdapat 48 Raja Daerah Yang
Membentang Dari Salakanagara Atau Rajatapura (Di Daerah Teluk Lada Pandeglang)
Sampai Ke Purwalingga (Sekarang Purbolinggo) Di Jawa Tengah. Secara Tradisional
Cipamali (Kali Brebes) Memang Dianggap Batas Kekuasaan Raja-Raja Penguasa Jawa
Barat Pada Masa Silam.
Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Pasir Muara, Yang
Memberitakan Raja Sunda Dalam Tahun 536 M, Merupakan Gejala Bahwa Ibukota
Sundapura Telah Berubah Status Menjadi Sebuah Kerajaan Daerah. Hal Ini Berarti,
Pusat Pemerintahan Kerajaan Tarumanegara Telah Bergeser Ke Tempat Lain. Contoh
Serupa Dapat Dilihat Dari Kedudukaan Rajatapura Atau Salakanagara (Kota Perak),
Yang Disebut Argyre Oleh Ptolemeus Dalam Tahun 150 M. Kota Ini Sampai Tahun 362
Menjadi Pusat Pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (Dari Dewawarman I - VIII).
Ketika Pusat Pemerintahan Beralih Dari Rajatapura Ke Tarumanegara, Maka Salakanagara
Berubah Status Menjadi Kerajaan Daerah. Jayasingawarman
Pendiri Kerajaan Tarumanegara Adalah Menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
Sendiri Seorang Maharesi Dari Salankayana Di India Yang Mengungsi Ke Nusantara
Karena Daerahnya Diserang Dan Ditaklukkan Maharaja Samudragupta Dari Kerajaan
Magada.
Suryawarman Tidak Hanya Melanjutkan Kebijakan Politik
Ayahnya Yang Memberikan Kepercayaan Lebih Banyak Kepada Raja Daerah Untuk
Mengurus Pemerintahan Sendiri, Melainkan Juga Mengalihkan Perhatiannya Ke
Daerah Bagian Timur. Dalam Tahun 526 M, Misalnya, Manikmaya, Menantu
Suryawarman, Mendirikan Kerajaan Baru Di Kendan, Daerah Nagreg Antara Bandung
Dan Limbangan, Garut. Putera Tokoh Manikmaya Ini Tinggal Bersama Kakeknya Di
Ibukota Tarumangara Dan Kemudian Menjadi Panglima Angkatan Perang Kerajaan
Tarumanegara. Perkembangan Daerah Timur Menjadi Lebih Berkembang Ketika Cicit
Manikmaya Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.
Kerajaan Tarumanegara Sendiri Hanya Mengalami Masa
Pemerintahan 12 Orang Raja. Pada Tahun 669, Linggawarman, Raja Kerajaan Tarumanegara
Terakhir, Digantikan Menantunya, Tarusbawa. Linggawarman Sendiri
Mempunyai Dua Orang Puteri, Yang Sulung Bernama Manasih Menjadi Istri Tarusbawa
Dari Sunda Dan Yang Kedua Bernama Sobakancana Menjadi Isteri Dapuntahyang Sri
Jayanasa Pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara Otomatis, Tahta Kekuasaan Kerajaan
Tarumanegara Jatuh Kepada Menantunya Dari Putri Sulungnya, Yaitu Tarusbawa.
Kekuasaan Kerajaan Tarumanegara Berakhir Dengan Beralihnya Tahta Kepada
Tarusbawa, Karena Tarusbawa Pribadi Lebih Menginginkan Untuk Kembali Ke
Kerajaannya Sendiri, Yaitu Sunda Yang Sebelumnya Berada Dalam Kekuasaan
Kerajaan Tarumanegara. Atas Pengalihan Kekuasaan Ke Sunda Ini, Hanya Galuh Yang
Tidak Sepakat Dan Memutuskan Untuk Berpisah Dari Sunda Yang Mewarisi Wilayah
Kerajaan Tarumanegara.
Raja-Raja Kerajaan Tarumanegara
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669
1. Jayasingawarman 358-382
2. Dharmayawarman 382-395
3. Purnawarman 395-434
4. Wisnuwarman 434-455
5. Indrawarman 455-515
6. Candrawarman 515-535
7. Suryawarman 535-561
8. Kertawarman 561-628
9. Sudhawarman 628-639
10. Hariwangsawarman 639-640
11. Nagajayawarman 640-666
12. Linggawarman 666-669
Prasasti Peninggalan Kerajaan
Tarumanegara
1. Prasasti Kebon Kopi, Dibuat Sekitar 400 M (H Kern 1917), Ditemukan Di Perkebunan Kopi Milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
2. Prasasti Tugu, Ditemukan Di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Sekarang Disimpan Di Museum Di Jakarta. Prasasti Tersebut Isinya Menerangkan Penggalian Sungai Candrabaga Oleh Rajadirajaguru Dan Penggalian Sungai Gomati Oleh Purnawarman Pada Tahun Ke-22 Masa Pemerintahannya.
3. Prasasti Munjul Atau Prasasti Cidanghiang, Ditemukan Di Aliran Sungai Cidanghiang Yang Mengalir Di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, Berisi Pujian Kepada Raja Purnawarman.
4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan Tempat Prasasti Itu Ditemukan Berbentuk Bukit Rendah Berpermukaan Datar Dan Diapit Tiga Batang Sungai: Cisadane, Cianten Dan Ciaruteun. Sampai Abad Ke-19, Tempat Itu Masih Dilaporkan Dengan Nama Pasir Muara. Dahulu Termasuk Bagian Tanah Swasta Ciampea. Sekarang Termasuk Wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara Tempat Prasasti Ciaruteun Dan Telapak Gajah Ditemukan, Dahulu Merupakan Sebuah " Kota Pelabuhan Sungai " Yang Bandarnya Terletak Di Tepi Pertemuan Cisadane Dengan Cianten. Sampai Abad Ke-19 Jalur Sungai Itu Masih Digunakan Untuk Angkutan Hasil Perkebunan Kopi. Sekarang Masih Digunakan Oleh Pedagang Bambu Untuk Mengangkut Barang Dagangannya Ke Daerah Hilir.
Prasasti Pada Zaman Ini Menggunakan Aksara Sunda Kuno,
Yang Pada Awalnya Merupakan Perkembangan Dari Aksara Tipe Pallawa Lanjut, Yang
Mengacu Pada Model Aksara Kamboja Dengan Beberapa Cirinya Yang Masih Melekat.
Pada Zaman Ini, Aksara Tersebut Belum Mencapai Taraf Modifikasi Bentuk Khasnya
Sebagaimana Yang Digunakan Naskah-Naskah (Lontar) Abad Ke-16. Prasasti Pasir
Muara Di Bogor, Prasasti Ditemukan Di Pasir Muara, Di Tepi Sawah, Tidak Jauh
Dari Prasasti Telapak Gajah Peninggalan Purnawarman. Prasasti Itu Kini Tak
Berada Ditempat Asalnya. Dalam Prasasti Itu Dituliskan :
Ini Sabdakalanda Rakryan Juru Panga-Mbat I Kawihaji
Panyca Pasagi Marsa-N Desa Barpulihkan****Su-Nda Terjemahannya Menurut Bosch:
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Ini Tanda Ucapan Rakryan Juru Pengambat Dalam Tahun (Saka) Kawihaji (8) Panca (5) Pasagi (4), Pemerintahan Begara Dikembalikan Kepada Raja Sunda.
Karena Angka Tahunnya Bercorak " Sangkala " Yang Mengikuti Ketentuan " Angkanam Vamato Gatih " (Angka Dibaca Dari Kanan), Maka Prasasti Tersebut Dibuat Dalam Tahun 458 Saka Atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun, Prasasti Ciaruteun Ditemukan Pada Aliran Sungai Ciaruteun, Seratus
Meter Dari Pertemuan Sungai Tersebut Dengan Sungai Cisadane; Namun Pada
Tahun 1981 Diangkat Dan Diletakkan Di
Dalam Cungkup. Prasasti Ini
Peninggalan Purnawarman, Beraksara Palawa, Berbahasa Sansekerta. Isinya Adalah
Puisi Empat Baris, Yang Berbunyi: “Vikkrantasyavanipateh Shrimatah
Purnavarmmanah Kerajaan Tarumanegararendrasya Vishnoriva Padadvayam “. Terjemahannya Menurut Vogel: “Kedua
(Jejak) Telapak Kaki Yang Seperti (Telapak Kaki) Wisnu Ini Kepunyaan Raja Dunia
Yang Gagah Berani Yang Termashur Purnawarman Penguasa Kerajaan Tarumanegara.”. Selain
Itu, Ada Pula Gambar Sepasang " Pandatala " (Jejak Kaki), Yang
Menunjukkan Tanda Kekuasaan Fungsinya Seperti " Tanda Tangan " Pada
Zaman Sekarang. Kehadiran Prasasti Purnawarman Di Kampung Itu Menunjukkan Bahwa
Daerah Itu Termasuk Kawasan Kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi
Nusantara Parwa II, Sarga 3, Halaman 161, Di Antara Bawahan Kerajaan
Tarumanegara Pada Masa Pemerintahan Purnawarman Terdapat Nama "
Rajamandala " (Raja Daerah) Pasir Muhara.
Prasasti Telapak Gajah, Prasasti Telapak Gajah
Bergambar Sepasang Telapak Kaki Gajah Yang Diberi Keterangan Satu Baris
Berbentuk Puisi Berbunyi:
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Jayavi S Halasya Tarumendrsaya Hastinah Airavatabhasya Vibhatidam Padadavayam
Terjemahannya: Kedua Jejak Telapak Kaki Adalah Jejak Kaki Gajah Yang Cemerlang Seperti Airawata Kepunyaan Penguasa Kerajaan Tarumanegara Yang Jaya Dan Berkuasa.
Menurut Mitologi Hindu, Airawata Adalah Nama Gajah Tunggangan Batara Indra Dewa Perang Dan Penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa Parwa I, Sarga 1, Gajah Perang Purnawarman Diberi Nama Airawata Seperti Nama Gajah Tunggangan Indra. Bahkan Diberitakan Juga, Bendera Kerajaan Kerajaan Tarumanegara Berlukiskan Rangkaian Bunga Teratai Di Atas Kepala Gajah. Demikian Pula Mahkota Yang Dikenakan Purnawarman Berukiran Sepasang Lebah.
Ukiran Bendera Dan Sepasang Lebah Itu Dengan Jelas
Ditatahkan Pada Prasasti Ciaruteun Yang Telah Memancing Perdebatan Mengasyikkan
Di Antara Para Ahli Sejarah Mengenai Makna Dan Nilai Perlambangannya. Ukiran
Kepala Gajah Bermahkota Teratai Ini Oleh Para Ahli Diduga Sebagai " Huruf
Ikal " Yang Masih Belum Terpecahkan Bacaaanya Sampai Sekarang. Demikian
Pula Tentang Ukiran Sepasang Tanda Di Depan Telapak Kaki Ada Yang Menduganya
Sebagai Lambang Laba-Laba, Matahari Kembar Atau Kombinasi Surya-Candra
(Matahari Dan Bulan). Keterangan Pustaka Dari Cirebon Tentang Bendera Kerajaan
Tarumanegara Dan Ukiran Sepasang " Bhramara " (Lebah) Sebagai Cap
Pada Mahkota Purnawarman Dalam Segala " Kemudaan " Nilainya Sebagai Sumber
Sejarah Harus Diakui Kecocokannya Dengan Lukisan Yang Terdapat Pada Prasasti
Ciaruteum.
Di Daerah
Bogor, Masih Ada Satu Lagi Prasasti Lainnya Yaitu Prasasti Batu Peninggalan Kerajaan Tarumanegara Yang
Terletak Di Puncak Bukit Koleangkak,
Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada Bukit Ini Mengalir
(Sungai) Cikasungka. Prasasti Inipun Berukiran Sepasang Telapak Kaki Dan Diberi
Keterangan Berbentuk Puisi Dua Baris: “Shriman Data Kertajnyo Narapatir - Asamo
Yah Pura Tarumayam Nama Shri Purnnavarmma Pracurarupucara Fedyavikyatavammo
Tasyedam - Padavimbadavyam Arnagarotsadane Nitya-Dksham Bhaktanam Yangdripanam
- Bhavati Sukhahakaram Shalyabhutam Ripunam.” Terjemahannya Menurut Vogel: “Yang
Termashur Serta Setia Kepada Tugasnya Ialah Raja Yang Tiada Taranya Bernama Sri
Purnawarman Yang Memerintah Taruma Serta Baju Perisainya Tidak Dapat Ditembus
Oleh Panah Musuh-Musuhnya; Kepunyaannyalah Kedua Jejak Telapak Kaki Ini, Yang
Selalu Berhasil Menghancurkan Benteng Musuh, Yang Selalu Menghadiahkan Jamuan
Kehormatan (Kepada Mereka Yang Setia Kepadanya), Tetapi Merupakan Duri Bagi
Musuh-Musuhnya.”
C. Kerajaan Sriwijaya
1. Sejarah
Pengetahuan mengenai sejarah Sriwijaya baru lahir pada permulaan abad ke-20
M, ketika George Coedes menulis karangannya berjudul Le Royaume de Crivijaya pada
tahun 1918 M. Sebenarnya, lima tahun sebelum itu, yaitu pada tahun 1913 M, Kern
telah menerbitkan Prasasti Kota Kapur, sebuah prasasti peninggalan Sriwijaya
yang ditemukan di Pulau Bangka. Namun, saat itu, Kerna masih menganggap nama
Sriwijaya yang tercantum pada prasasti tersebut sebagai nama seorang raja,
karena Cri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja.
Pada tahun 1896 M, sarjana Jepang Takakusu menerjemahkan karya I-tsing,
Nan-hai-chikuei-nai fa-ch‘uan ke dalam bahasa Inggris dengan judul A Record of
the Budhist Religion as Practised in
India and the Malay Archipelago. Namun, dalam buku tersebut tidak
terdapat nama Sriwijaya, yang ada hanya Shih-li-fo-shih. Dari terjemahan prasasti Kota Kapur yang memuat nama Sriwijaya dan
karya I-Tsing yang memuat nama Shih-li-fo-shih, Coedes kemudian menetapkan
bahwa, Sriwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera Selatan. Lebih
lanjut, Coedes juga menetapkan bahwa,
letak ibukota Sriwijaya adalah Palembang, dengan bersandar pada
anggapan Groeneveldt dalam karangannya, Notes on the Malay Archipelago and
Malacca, Compiled from Chinese Source, yang menyatakan bahwa, San-fots‘ I
adalah Palembang. Sumber lain, yaitu Beal
mengemukakan pendapatnya pada tahun 1886 bahwa, Shih-li-fo-shih merupakan suatu
daerah yang terletak di tepi Sungai Musi, dekat kota Palembang sekarang.
Dari pendapat ini, kemudian muncul suatu kecenderungan di kalangan sejarawan
untuk menganggap Palembang sebagai
pusat Kerajaan Sriwijaya. Sumber lain yang mendukung keberadaan Palembang
sebagai pusat kerajaan adalah prasasti Telaga Batu. Prasasti ini berbentuk
batu lempeng mendekati segi lima, di atasnya ada tujuh kepala ular kobra,
dengan sebentuk mangkuk kecil dengan cerat (mulut kecil tempat keluarair) di
bawahnya. Menurut para arkeolog, prasasti
ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah kesetiaan dan kepatuhan para
calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat yang disumpah meminum air
yang dialirkan ke batu dan keluar melalui cerat tersebut. Sebagaisarana untuk
upacara persumpahan, prasasti seperti itu biasanya ditempatkan di pusat
kerajaan. Karena ditemukan di sekitar
Palembang pada tahun 1918 M, maka diduga kuat Palembang merupakan pusat
Kerajaan Sriwijaya. Petunjuk lain yang menyatakan bahwa Palembang
merupakan pusat kerajaan juga diperoleh dari hasil temuan barang-barang keramik
dan tembikar di situs Talang Kikim, Tanjung Rawa, Bukit Siguntang dan Kambang
Unglen, semuanya di daerah Palembang. Keramik dan tembikar tersebut merupakan
alat yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Temuan ini menunjukkan bahwa,
pada masa dulu, di Palembang terdapat pemukiman kuno. Dugaan ini semakin kuat
dengan hasil interpretasi foto udara di daerah sebelah barat Kota
Palembang,yang menggambarkan bentuk-bentuk kolam dan kanal. Kolam dan
kanal-kanal yang bentuknya teratur itu kemungkinan besar buatan manusia, bukan
hasil dari proses alami. Dari hasil temuan keramik dan kanal-kanal ini, maka
dugaan para arkeolog bahwa Palembang merupakan pusat kerajaan semakin kuat.
Sebagai pusat kerajaan, kondisi
Palembang ketika itu bersifat mendesa (rural), tidak seperti
pusat-pusat kerajaan lain yang ditemukan di wilayah Asia Tenggara daratan,
seperti di Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Bahan utama yang dipakai untuk
membuat bangunan di pusat kota Sriwijaya adalah kayu atau bambu yang mudah
didapatkan di sekitarnya. Oleh karena bahan itu mudah rusak termakan zaman,
maka tidak ada sisa bangunan yang dapat ditemukan lagi. Kalaupun ada, sisa
pemukiman dengan konstruksi kayu tersebut hanya dapat ditemukan di daerah rawa
atau tepian sungai yang terendam air, bukan di pusat kota, seperti di situs
Ujung Plancu, Kabupaten Batanghari, Jambi. Memang ada bangunan yang dibuat dari
bahan bata atau batu, tapi hanya bangunan sakral (keagamaan), seperti yang
ditemukan di Palembang, di situs Gedingsuro, Candi Angsoka, dan Bukit
Siguntang, yang terbuat dari bata. Sayang sekali, sisa bangunan yang ditemukan
tersebut hanya bagian pondasinya saja. Seiring perkembangan, semakin banyak
ditemukan data sejarah berkenaan dengan Sriwijaya. Selain prasasti Kota Kapur,
juga ditemukan prasasti Karang Berahi (ditemukan tahun 1904 M), Telaga Batu
(ditemukan tahun 1918 M), Kedukan Bukit (ditemukan tahun 1920 M) Talang Tuo
(ditemukan tahun 1920 M) dan Boom Baru. Di antara prasasti di atas, prasasti
Kota Kapur merupakan yang paling tua, bertarikh 682 M, menceritakan tentang
kisah perjalanan suci Dapunta Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua
laksa (20.000) tentara dan 200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang
berjalan kaki. Perjalanan ini berakhir di mukha-p. Ditempat tersebut, Dapunta
Hyang kemudian mendirikan wanua (perkampungan) yang diberi nama Sriwijaya. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh
684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa
untuk semua makhluk, yang diberi nama Sriksetra. Dalam taman tersebut,
terdapat pohon-pohon yang buahnya dapat dimakan. Data tersebut semakin lengkap
dengan adanya berita Cina dan Arab. Sumber Cina yang paling sering dikutip
adalah catatan I-tsing. Ia merupakan seorang peziarah Budha dari China yang
telah mengunjungi Sriwijaya beberapa kali dan sempat bermukim beberapa lama. Kunjungan I-sting pertama adalah tahun
671 M. Dalam catatannya disebutkan bahwa, saat itu terdapat lebih dari seribu
orang pendeta Budha di Sriwijaya. Aturan dan upacara para pendeta Budha
tersebut sama dengan aturan dan upacara yang dilakukan oleh para pendeta Budha
di India. I-tsing tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya untuk belajar bahasa
Sansekerta, setelah itu, baru ia berangkat ke Nalanda, India. Setelah lama
belajar di Nalanda, I-tsing kembali ke Sriwijaya pada tahun 685 dan tinggal
selama beberapa tahun untuk menerjemahkan teks-teks Budha dari bahasa
Sansekerta ke bahasa Cina. Catatan
Cina yang lain menyebutkan tentang utusan Sriwijaya yang datang secara rutin ke
Cina, yang terakhir adalah tahun 988 M. Dalam sumber lain, yaitu catatan Arab, Sriwijaya disebut Sribuza.
Mas‘udi, seorang sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya pada
tahun 955 M. Dalam catatan itu,digambarkan Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan
besar, dengan tentara yang sangat banyak. Hasil bumi Sriwijaya adalah
kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,kardamunggu, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya. Dari catatan asing tersebut, bisa diketahui bahwa
Sriwijaya merupakan kerajaan besar pada masanya, dengan wilayah dan relasi
dagang yang luas sampai ke Madagaskar. Sejumlah bukti lain berupa arca,
stupika, maupun prasasti lainnya semakin menegaskan bahwa, pada masanya
Sriwijaya adalah kerajaan yang mempunyai komunikasi yang baik dengan para
saudagar dan pendeta di Cina, India dan Arab. Hal ini hanya mungkin bisa
dilakukan oleh sebuah kerajaan yang besar, berpengaruh, dan diperhitungkan di
kawasannya.
Pada abad ke-11 M, Sriwijaya mulai
mengalami kemunduran. Pada tahun 1006 M, Sriwijaya diserang oleh
Dharmawangsa dari Jawa Timur. Serangan ini berhasil dipukul mundur, bahkan
Sriwijaya mampu melakukan serangan balasan dan berhasil menghancurkan kerajaan
Dharmawangsa. Pada tahun 1025 M, Sriwijaya mendapat serangan yang melumpuhkan
dari kerajaan Cola, India. Walaupun demikian, serangan tersebut belum mampu
melenyapkan Sriwijaya dari muka bumi. Hingga
awal abad ke-13 M, Sriwijaya masih tetap berdiri, walaupun kekuatan dan
pengaruhnya sudah sangat jauh berkurang.
2. Silsilah
Salah satu
cara untuk memperluas pengaruh kerajaan adalah dengan melakukan perkawinan
dengan kerajaan lain. Hal ini juga dilakukan oleh penguasa Sriwijaya. Dapunta Hyang yang berkuasa sejak 664 M,
melakukan pernikahan dengan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan
Tarumanegara, Linggawarman. Perkawinan ini melahirkan seorang putra
yang menjadi raja Sriwijaya berikutnya: Dharma Setu. Dharma Setu kemudian
memiliki putri yang bernama Dewi Tara. Putri ini kemudian ia nikahkan dengan
Samaratungga, raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Syailendra. Dari
pernikahan Dewi Setu dengan Samaratungga, kemudian lahir Bala Putra Dewa yang
menjadi raja di Sriwijaya dari 833 hingga 856 M. Berikut ini daftar silsilah para raja Sriwijaya:
Dapunta Hyang Sri Yayanaga (Prasasti Kedukan Bukit 683, Talang Tuo, 684).
1. Cri
Indrawarman (berita Cina, tahun 724).
2.
Rudrawikrama (berita Cina, tahun 728, 742).
3. Wishnu
(prasasti Ligor, 775).
4. Maharaja
(berita Arab, tahun 851).
5.
Balaputradewa (prasasti Nalanda, 860).
6. Cri
Udayadityawarman (berita Cina, tahun 960).
7. Cri
Udayaditya (berita Cina, tahun 962).
8. Cri
Cudamaniwarmadewa (berita Cina, tahun 1003, prasasti Leiden, 1044).
9.
Maraviyayatunggawarman (prasasti Leiden, 1044).
10. Cri Sanggaramawijayatunggawarman
(prasasti Chola, 1044).
3. Periode
Pemerintahan
Kerajaan
Sriwijaya berkuasa dari abad ke-7
hingga awal abad ke-13 M, dan mencapai zaman keemasan di era pemerintahan Balaputra Dewa (833-856 M).
Kemunduran kerajaan ini
berkaitan dengan masuk dan
berkembangnya agama Islam di Sumatera, dan munculnya kekuatan Singosari dan Majapahit di Pulau Jawa.
4. Wilayah
Kekuasaan
Dalam sejarahnya, kerajaan
Sriwijaya menguasai bagian barat Nusantara. Salah satu faktor yang menyebabkan Sriwijaya bisa
menguasai seluruh bagian barat Nusantara adalah runtuhnya kerajaan Fu-nan di
Indocina. Sebelumnya, Fu-nan adalah satu-satunya pemegang kendali di
wilayah perairan Selat Malaka. Faktor
lainnya adalah kekuatan armada laut Sriwijaya yang mampu menguasai jalur lalu
lintas perdagangan antara India dan Cina. Dengan kekuatan armada yang
besar, Sriwijaya kemudian melakukan ekspansi wilayah hingga ke pulau Jawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sampai ke Brunei di
pulau Borneo.
Dari prasasti Kota Kapur yang
ditemukan JK Van der Meulen di Pulau Bangka pada bulan Desember 1892 M,
diperoleh petunjuk mengenai Kerajaan Sriwijaya yang sedang berusaha menaklukkan
Bumi Jawa. Meskipun tidak dijelaskan wilayah mana yang dimaksud
dengan Bhumi Jawa dalam prasasti itu, beberapa arkeolog meyakini, yang dimaksud Bhumi Jawa itu adalah
Kerajaan Tarumanegara di Pantai Utara Jawa Barat. Selain dari isi
prasasti, wilayah kekuasaan Sriwijaya juga bisa diketahui dari persebaran
lokasi prasasti-prasasti peninggalan Sriwjaya tersebut. Di daerah Lampung ditemukan prasasti Palas Pasemah, di Jambi ada
Karang Berahi, di Bangka ada Kota kapur, di Riau ada Muara Takus. Semua
ini menunjukkan bahwa, daerah-daerah tersebut pernah dikuasai Sriwijaya. Sumber
lain ada yang mengatakan bahwa, kekuasaan Sriwijaya sebenarnya mencapai
Philipina. Ini merupakan bukti bahwa, Sriwijaya pernah menguasai sebagian besar
wilayah Nusantara.
5. Struktur
Pemerintahan
Kekuasaan
tertinggi di Kerajaan Sriwijaya dipegang oleh raja. Untuk menjadi raja, ada tiga persyaratan yaitu:
1. Samraj,
artinya berdaulat atas rakyatnya.
2. Indratvam, artinya memerintah
seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan pada rakyatnya.
3.
Ekachattra. Eka berarti satu dan chattra berarti payung. Kata ini bermakna
mampu memayungi (melindungi) seluruh rakyatnya.
Penyamaan raja dengan Dewa Indra
menunjukkan raja di Sriwijaya memiliki kekuasaan yang bersifat transenden. Belum
diketahui secara jelas bagaimana struktur pemerintahan di bawah raja. Salah
satu pembantunya yang disebut secara jelas hanya senapati yang bertugas sebagai
panglima perang.
6. Kehidupan
Ekonomi, Sosial, Budaya
Sebagai kerajaan besar yang menganut agama Budha, di Sriwijaya telah
berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha tersebut. Dalam
catatan perjalanan Itsing disebutkan bahwa, pada saat itu, di Sriwijaya
terdapat seribu pendeta. Dalam perjalanan pertamanya, I-tsing sempat bermukim
selama enam bulan di Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sansekerta. I-tsing juga
menganjurkan, jika seorang pendeta Cina ingin belajar ke India, sebaiknya
belajar dulu setahun atau dua tahun di Fo-shih (Palembang), baru kemudian
belajar di India. Sepulangnya dari Nalanda, I-tsing menetap di Sriwijaya selama
tujuh tahun (688-695 M) dan menghasilkan dua karya besar yaitu Ta T‘ang
si-yu-ku-fa-kao-seng-chuan dan Nan-hai-chi-kuei-nei-fa-chuan (A Record of the
Budhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago) yang selesai
ditulis pada tahun 692 M. Ini menunjukkan bahwa, Sriwijaya merupakan salah satu pusat agama Budha yang penting pada
saat itu. Sampai awal abad ke-11 M, Kerajaan Sriwijaya masih merupakan pusat
studi agama Buddha Mahayana. Dalam relasinya dengan India, raja-raja
Sriwijaya membangun bangunan suci agama Budha di India. Fakta ini tercantum
dalam dua buah prasasti, yaitu prasasti
Raja Dewapaladewa dari Nalanda, yang diperkirakan berasal dari abad ke-9 M; dan
prasasti Raja Rajaraja I yang berangka tahun 1044 M dan 1046 M.
Prasasti pertama menyebutkan tentang Raja Balaputradewa dari Suwarnadwipa
(Sriwijaya)yang membangun sebuah biara; sementara prasasti kedua menyebutkan
tentang Raja Kataha dan Sriwijaya, Marawijayayottunggawarman yang memberi
hadiah sebuah desa untuk dipersembahkan kepada sang Buddha yang berada dalam
biara Cudamaniwarna, Nagipattana, India.
Di bidang perdagangan, Kerajaan Sriwijaya mempunyai hubungan
perdagangan yang sangat baik dengan saudagar dari Cina, India, Arab dan
Madagaskar. Hal itu bisa dipastikan dari temuan mata uang Cina, mulai
dari periode Dinasti Song (960-1279 M) sampai Dinasti Ming (abad 14-17 M). Berkaitan
dengan komoditas yang diperdagangkan, berita Arab dari Ibn al- Fakih (902 M),
Abu Zayd (916 M) dan Mas‘udi (955 M) menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu
cengkeh, pala, kapulaga, lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus,
gading, timah, emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah, dan penyu.
Barang-barang ini dibeli oleh pedagang asing, atau dibarter dengan porselen,
kain katun dan kain sutra.
D. Kerajaan
Mataram Kuno
Pada abad
ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya.
Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan
dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di
Jawa Barat bernama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang
menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara
saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil
melarikan diri ke lereng Gunung Merapi. Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian
hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu
kota Medangri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.
Bukti lain
mengenai keberadaan Kerajaan Mataram Hindu atau sering juga disebut
Mataram Kuno adalah prasasti Canggal
yang dikeluarkan oleh Sanjaya. Prasasti ini berangka tahun
Cruti Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama dengan 78
Masehi, berarti 654 Saka sama dengan 732
M), hurufnya Pallawa, bahasanya Sanskerta, dan letaknya di Gunung
Wukir, sebelah selatan Muntilan. Isinya adalah pada tahun tersebut Sanjaya mendirikan lingga di Bukit
Stirangga untuk keselamatan rakyatnya dan pemujaan terhadap Syiwa, Brahma,
dan Wisnu, di daerah suci Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah,
yang dimaksud Bukit Stirangga adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud
Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah = leman; kunja =
hutan). Lingga adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan, kekuatan,
pemerintahan, laki - laki, dan dewa Syiwa.
Raja-raja
wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih (Kedu), sebagai
berikut.
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
Raja ini
adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa Sanjaya. Setelah
wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam
prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran
(yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan
untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk
dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti
Syailendra.
Ini menunjukkan
bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti Syailendra dipimpin
rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan menyerang wangsa
Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain itu,
Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke
Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama
Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan
(784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 –
827 M)
Dua raja ini
tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang cakap dalam
memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk
berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat
digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun
karena kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber
sejarah yang mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 –
847 M)
Raja ini
beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti Pengging (819 M) di
mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar (mengenai Patapan Puplar
diceritakan dalam prasasti Karang Tengah – Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 –
855 M)
Raja Pikatan
berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa Sanjaya dalam masa
pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan Jatiningrat (Agastya).
Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan
nama Pikatan sebagai berikut.
a) Prasasti
Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah
raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti
Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan
pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan menyebutkan nama Sri
Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan.
Diduga
tulisan tersebut merupakan
catatan perkawinan antara Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan.
Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani, putri Samaratungga, dari
dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.
Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti
berikut.
1) Prasasti Pereng (862 M), isinya
mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan
kepada Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28, berangka
tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778 Saka (856 M). Isinya adalah
(a) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan
kekuasaan kepada putranya, Lokapala (Kayuwangi) dalam prasasti Kedu);
(b) Pikatan
mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah candi
Prambanan;
(c) kisah peperangan antara Walaputra
(Balaputradewa) melawan Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan
lari ke Ungaran (Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah
pendirian tiga lingga sebagai tanda kemenangan.
Ketiga
lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai
petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan
benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa
tertinggi atau paling berkuasa).
Sebagai
raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun
harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram
Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani,
putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini
memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta
Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan
menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885
M)
Nama lain
Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala.
Ia mengeluarkan, antara lain, tiga prasasti berikut.
a) Prasasti
Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat
dari tembaga.
b) Prasasti
Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M),
menyebutkan Rakai Pikatan pu Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.
Dalam
pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat merangkap staf
pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini
diketuai seorang mahapatih.
8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 –
898 M)
Masa
pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai masa pemerintahan
Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu
sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang
bertahan lama.
Di antara
raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah Balitung
yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang.
Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887
M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut
mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung
sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura Dyah
Balitung (898 – 913 M)
Raja ini
dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil
mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa
Tengah sampai ke Jawa Timur.
Dyah Balitung
menggunakan beberapa nama:
a) Balitung
Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai
Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c)
Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai
Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).
Prasasti-prasasti yang penting dari
Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti
Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti
Wonogiri (903 M).
c) Prasasti
Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti
Djedung di Surabaya (910 M).
Sebenarnya,
Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat naik takhta
karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri
Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat
memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian,
yaitu bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.
Tiga jabatan
penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung adalah Rakryan i Hino
(pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan Rakryan i Sirikan.
Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai hingga
zaman Kerajaan Majapahit.
Balitung
digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri
Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat
lemah sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.
Ketika
Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah
dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul
dinasti Syailendra ini. Dr.
Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari Funan.
Dinasti ini
lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng,
Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah wangsa
Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra mendirikan
Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar Yogyakarta dan
menguasai Jawa Tengah bagian selatan.
Sumber-sumber sejarah mengenai
keberadaan dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Prasasti
Kalasan (778 M)
2) Prasasti
Kelurak (782 M)
3) Prasasti
Ratu Boko (856 M)
4) Prasasti
Nalanda (860 M)
Raja-raja dinasti Syailendra sebagai berikut.
1) Bhanu (752 – 775 M)
Bhanu
berarti matahari. Ia adalah raja Syailendra yang pertama.
Namanya disebutkan dalam prasasti yang ditemukan di Plumpungan (752 M),
dekat Salatiga.
2) Wisnu (775 – 782 M)
Nama Wisnu disebutkan dalam beberapa prasasti.
a) Prasasti
Ligor B menyebutkan nama Wisnu yang dipersamakan dengan matahari, bulan,
dan dewa Kama. Disebutkan pula gelar yang diberikan kepada Wisnu, yaitu
Syailendravamsaprabhunigadata Sri Maharaja, artinya pembunuh musuh yang
gagah berani.
b) Prasasti
Kalasan (778 M) menyebutkan desakan dinasti Syailendra
terhadap Panangkaran.
c) Prasasti Ratu Boko (778 M)
menyebutkan nama Raja Dharmatunggasraya.
3) Indra (782 – 812 M)
Raja Indra mengeluarkan prasasti Kelurak (782 M) yang
menyebutkan pendirian patung Boddhisatwa Manjusri, yang mencakup Triratna
(candi Lumbung), Vajradhatu (candi Sewu), dan Trimurti (candi Roro
Jongrang). Setelah wafat, Raja Indra dimakamkan di candi Pawon.
Nama lain candi ini adalah candi Brajanala atau Wrajanala. Wrajanala
artinya petir yang menjadi senjata dewa Indra.
4) Samaratungga (812 – 832 M)
Raja ini adalah raja terakhir
keturunan Syailendra yang memerintah di Mataram. Ia mengeluarkan prasasti
Karang Tengah yang berangka tahun Rasa Segara Krtidhasa atau 746 Saka (824
M). Dalam prasasti tersebut disebutkan nama Samaratungga dan putrinya,
Pramodhawardhani. Disebutkan pula mengenai pendirian bangunan Jimalaya
(candi Prambanan) oleh Pramodhawardhani.
Nama Samaratungga juga disebutkan
dalam prasasti Nalanda (860 M) yang menceritakan pendirian biara di
Nalanda pada masa pemerintahan Raja Dewapaladewa (Kerajaan Pala, India). Pada masa pemerintahannya,
Samaratungga membangun candi Borobudur yang merupakan candi besar agama
Buddha. Samaratungga kemudian digantikan oleh Rakai Pikatan, suami
Pramodhawardhani yang berasal dari wangsa Sanjaya. Kembalilah kekuasaan
wangsa Sanjaya atas Mataram Kuno sepenuhnya.
5. Runtuhnya Mataram Kuno
Runtuhnya
kerajaan Mataram disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama,
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
disebabkan oleh letusan gunung Merapi yang mengeluarkan lahar. Kemudian
lahar tersebut menimbun candi-candi yang didirikan oleh kerajaan, sehingga
candi-candi tersebut menjadi rusak. Kedua, runtuhnya kerajaan Mataram
disebabkan oleh krisis politik yang terjadi tahun 927-929 M. Ketiga, runtuhnya
kerajaan dan perpindahan letak kerajaan dikarenakan pertimbangan ekonomi.
Di Jawa Tengah daerahnya kurang subur, jarang terdapat sungai besar dan
tidak terdapatnya pelabuhan strategis. Sementara di Jawa Timur, apalagi di
pantai selatan Bali merupakan jalur yang strategis untuk perdagangan, dan
dekat dengan daerah sumber penghasil komoditi perdagangan.
Mpu Sindok mempunyai jabatan sebagai Rake I Hino ketika Wawa
menjadi raja di Mataram, lalu pindah ke Jawa timur dan mendirikan dinasti
Isyana di sana dan menjadikan Walunggaluh sebagai pusat kerajaan . Mpu
Sindok yang membentuk dinasti baru, yaitu Isanawangsa berhasil membentuk
Kerajaan Mataram sebagai kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yang berpusat
di Jawa Tengah. Mpu Sindok memerintah sejak tahun 929 M sampai dengan
948 M.
Sumber sejarah yang berkenaan dengan
Kerajaan Mataram di Jawa Timur
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
antara lain prasasti Pucangan, prasasti Anjukladang dan Pradah, prasasti
Limus, prasasti Sirahketing, prasasti Wurara, prasasti Semangaka, prasasti
Silet, prasasti Turun Hyang, dan prasasti Gandhakuti yang berisi penyerahan
kedudukan putra mahkota oleh Airlangga kepada sepupunya yaitu
Samarawijaya putra Teguh Dharmawangsa.
1. Kehidupan
ekonomi
Mpu Sindok
memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usahausaha yang ia
lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu pula pada masa pemerintahan
Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai
Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir. Sementara
itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab
Arjuna Wiwaha. Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber
kronik Cina yang menyatakan tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak
menghasilkan beras, perdagangan yang ramai di Kediri dengan barang yang
diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu cendana, dan pinang. Dari
keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada umumnya
hidup dari pertanian dan perdagangan.
2. Kehidupan
sosial-budaya
Dalam bidang
toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengiinkan penyusunan kitab Sanghyang
Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Sindok sendiri beragama Hindu. Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta
karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh Mpu Kanwa. Begitu pula
seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya sastra
Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya
Jawa. Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya.
Hal itu terbukti dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa
bagian di Sungai Berantas untuk mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga
banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal tersebut salah satunya disebabkan
oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman, sastrawan dan para pujangga,
sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan kreativitas yang mereka
miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
a. Rakyat Kediri pada umumnya telah memiliki
tempat tinggal yang baik, layak huni dan tertata dengan rapi, serta rakyat
telah mampu untuk berpakaian dengan baik.
b. Hukuman di Kediri terdapat dua macam
yaitu denda dan hukuman mati
bagi perampok.
bagi perampok.
c. Kalau sakit rakyat tidak mencari
obat, tetapi cukup dengan memuja
para dewa.
para dewa.
E.
Dinasti Isyana di Jawa Timur
1. Asal-Usul
Istilah Isyana berasal dari nama Sri
Isyana Wikramadharmottunggadewa, yaitu gelar
Mpu
Sindok setelah menjadi raja Medang (929–947). Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa.
Berdasarkan
agama yang dianut, Mpu Sindok diduga
merupakan keturunan Sanjaya, pendiri Kerajaan
Medang periode Jawa Tengah. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa Mpu Sindok adalah cucu Mpu
Daksa yang memerintah sekitar tahun 910–an. Mpu Daksa sendiri memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa (kalender
Sanjaya) untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah keturunan asli Sanjaya.
Dengan demikian, Mpu Daksa dan Mpu
Sindok dapat disebut sebagai anggota Wangsa Sanjaya.
Kerajaan
Medang di Jawa Tengah hancur akibat
letusan Gunung Merapi menurut teori van Bammelen. Mpu Sindok
kemudian memindahkan ibu kota
Medang dari Mataram menuju Tamwlang.
Beberapa tahun kemudian ibu kota dipindahkan
lagi ke Watugaluh. Kedua istana baru itu terletak di daerah Jombang sekarang.
Mpu Sindok
tidak hanya memindahkan istana Medang ke timur, namun ia juga dianggap telah mendirikan dinasti baru
bernama Wangsa Isyana.
Namun ada
juga pendapat yang menolak keberadaan Wangsa Sanjaya dan Wangsa Isyana, antara
lain yang diajukan oleh Prof.
Poerbatjaraka, Pusponegoro, dan Notosutanto. Menurut versi ini, dalam
Kerajaan Medang hanya ada satu dinasti saja, yaitu Wangsa
Syailendra, yang semula beragama Hindu. Kemudian muncul Wangsa Syailendra terpecah dengan
munculnya anggota yang beragama Buddha.
Dengan kata
lain, versi ini berpendapat bahwa Mpu Sindok adalah anggota Wangsa Syailendra
yang beragama Hindu Siwa, dan yang memindahkan istana Kerajaan Medang ke Jawa
Timur.
2. Silsilah
Keluarga
Silsilah Wangsa Isyana dijumpai
dalam prasasti Pucangan tahun 1041 atas nama Airlangga, seorang raja yang mengaku keturunan
Mpu Sindok. Prasasti
inilah yang melahirkan pendapat tentang munculnya sebuah dinasti baru sebagai
kelanjutan Wangsa
Sanjaya.
Cikal bakal
Wangsa Isyana tentu saja ditempati oleh Mpu Sindok alias Maharaja Isyana. Ia
memiliki putri bernama Sri Isyanatunggawijaya yang menikah dengan
pangeran Bali bernama Sri Lokapala.
Dari perkawinan itu lahir Makutawangsawardhana, yang kemudian memiliki
putri bernama Mahendradatta,
yaitu ibu dari Airlangga.
Ayah dari Airlangga adalah Udayana
Warmadewa raja Bali. Dalam beberapa prasasti, nama Mahendradatta
atau Gunapriya Dharmapatni disebut lebih dulu sebelum suaminya. Hal ini
menunjukkan seolah-olah kedudukan Mahendradatta lebih tinggi daripada Udayana.
Mungkin saat itu Bali merupakan negeri bawahan Jawa. Penaklukan Bali diperkirakan terjadi pada zaman pemerintahan Dyah Balitung (sekitar tahun 890–900–an)
Prasasti
Pucangan juga menyebutkan seorang raja bernama Dharmawangsa Teguh,
mertua sekaligus kerabat Airlangga. Para sejarawan cenderung sepakat
bahwa Dharmawangsa adalah putra
Makutawangsawardhana. Pendapat ini diperkuat
oleh prasasti Sirah Keting yang menyebut Dharmawangsa dengan nama Sri Maharaja Isyana
Dharmawangsa.
Dengan
demikian, Dharmawangsa dapat dipastikan
sebagai keturunan Mpu Sindok, meskipun prasasti Pucangan tidak
menyebutnya dengan pasti.
3. Daftar Para Raja
Daftar para raja Wangsa Isyana dapat
disusun sebagai berikut,
- Mpu Sindok alias Maharaja Isyana
- Sri Isyanatunggawijaya, memerintah bersama Sri Lokapala
- Makutawangsawardhana
- Dharmawangsa Teguh memerintah di Jawa, Mahendradatta memerintah di Bali.
- Airlangga, putra Mahendradatta dan menantu Dharmawangsa.
F. Kerajaan Kediri
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja
Medang Kamulan. Airlangga
berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan
kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan
pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih
payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir
hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi
Gentayu. Airlangga meninggal
pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
1. Sistem pemerintahan kerajaan Kediri
Sistem pemerintahan kerajaan Kediri terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan , adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah :
1.Shri
Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan
prasastinya yang berangka tahun 1104.
Ia menamakan dirinya sebagai titisan
Wisnu.
2.Kameshwara, Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai kameshwara I (1115 – 1130 ). Lancana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab samaradana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
3.Jayabaya, Raja kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasatinya pada tahun 1181. Raja Kediri paling terkenal adalah Prabu Jayabaya, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
4.Prabu Sarwaswera, Sebagai raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah mooksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5.Prabu Kroncharyadipa, Namanya yang berarti beteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk) , masarya (iri hati).
6.Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh prapanca.
7.Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
2. RUNTUHNYA KERAJAAN KEDIRI
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa meyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuarn itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
G. KERAJAAN SINGASARI
1. Asal-Usul
Kerajaan
Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun
1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah Singosari,
Malang. Kerajaan Singasari hanya
sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota
di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel
hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Kadiri
dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok
yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui
candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai
Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang
memerintah di Singosari serta kitab
Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban.
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari
kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum
menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel
menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes
istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari
kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya
terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan
tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga
Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai
raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
2. Sistem Pemerintahan Kerajaan Singasari
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung.
a. Ken Arok (1222–1227 M)
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
b. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
c. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
d. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.
b. Anusapati (1227–1248 M)
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.
c. Tohjoyo (1248 M)
Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.
d. Ranggawuni (1248–1268 M)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5. Kertanegara (1268-1292 M)
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.
Selain menguasai Melayu, Singasari
juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun
(Maluku). Kertanegara
juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk
menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan
menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai
yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama
Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud
menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar
pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang
(Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari
dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah
selatan merupakan pasukan inti.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
3. Kehidupan Di Kerajaan Singasari
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.
3. Kehidupan Di Kerajaan Singasari
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Politik
Dalam Negeri:
- Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
- Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya.
- Memperkuat angkatan perang.
Politik Luar
Negeri:
- Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
- Menguasai Bali.
- Menguasai Jawa Barat.
- Menguasai Malaka dan Kalimantan.
Berdasarkan
segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal,
candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah
patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung
Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan
perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun
Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran
Tantrayana).
4. Runtuhnya Kerajaan Singasari
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.
4. Runtuhnya Kerajaan Singasari
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir.
5. Hubungan Kerajaan Singasari Dengan
Majapahit
Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya, cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya, cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Ketika
Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu Kertanegara) lari
ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan baik oleh
Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara
Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang
Jayakatwang.
Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.
a) Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya
pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai
berikut.
1) Mengawini empat putri Kertanegara dengan
tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota keluarga raja.
Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan
putra dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota.
Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.
2) Memberikan kedudukan dan hadiah yang
pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh
tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang
sampai Blambangan.
Kepemimpinan
Kertarajasa yang cukup bijaksana menyebabkan kerajaan menjadi aman dan
tenteram. Ia wafat pada tahun 1309
dan dimakamkan di Simping (Blitar) sebagai
Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca
perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca.
Penggantinya adalah Jayanegara.
b) Pemerintahan Jayanegara
Jayanegara
(1309-1328) adalah raja Majapahit kedua yang naik takhta
kerajaan menggantikan Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pada
tahun 1309 dan memerintah sampai tahun 1328. Pada waktu naik takhta, Jayanegara baru berusia 15 tahun.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, ia adalah putra Kertarajasa
dari Dara Petak atau putri Indreswari (selir). Menurut sumber lain, ia
adalah putra Kertarajasa dari Tribuaneswari (permaisuri). Pada tahun 1269,
ketika ayahnya masih memerintah, Jayanegara dinobatkan menjadi raja
muda (yuwaraja) di Kediri dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara.
Masa
pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya kurang
berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan
itu sebagai berikut.
a)
Pemberontakan Ranggalawe pada
tahun 1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
b)
Pemberontakan Lembu Sora pada
tahun 1311.
c)
Pemberontakan Juru Demung
(1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru.
d)
Pemberontakan Nambi pada
tahun 1319. Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
e)
Pemberontakan Kuti pada tahun
1319. Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil
menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke
daerah Bedander.
Jayanegara kemudian dilindungi oleh
pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. Namun, meskipun
berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi
Singgapura di Kapopongan.
c) Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena
Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi
biksuni, takhta Kerajaan Majapahit
diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328-1350)
yang menjalankan pemerintahan dibantu
suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya
Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja
diangkat menjadi Patih Daha.
d) Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun
takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang
bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan gelar
Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.
Gajah Mada diangkat
menjadi mahapatih di Majapahit pada tahun 1331. Upacara pelantikannya
merupakan suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan
pejabat-pejabat utama. Dalam upacara pelantikan tersebut, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya
yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa, berisi tekadnya untuk
mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Dalam
pelaksanaan sumpahnya tersebut, Gajah
Mada dibantu oleh Adityawarman dan Pu Nala. Gajah Mada mengawali
langkahnya dengan menaklukkan Bali dibantu Adityawarman. Setelah menguasai
Bali, Gajah Mada memperluas langkahnya untuk menaklukkan Kalimantan, Nusa
Tenggara, dan beberapa wilayah di Semenanjung Malaka.
Usaha Gajah
Mada untuk mewujudkan gagasan Nusantara banyak mendapat kesulitan. Di antaranya adalah
Peristiwa Bubat yang memaksanya menggunakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikannya.
Peristiwa Bubat diawali dengan
keinginan Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka, putri Raja Sunda. Gajah Mada menghendaki agar
putri Sunda itu diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk
Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja keinginan ini ditolak oleh Sri
Baduga Maharaja, ayah dari Dyah Pitaloka. Terjadilah pertempuran yang
mengakibatkan seluruh keluarga Raja Sunda berikut putrinya itu gugur.
Dalam kitab Negarakertagama
disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami masa
kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat
itu hampir sama dengan luas negara
Republik Indonesia sekarang.
Namun,
sepeninggal Gajah Mada yang wafat
pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan penggantinya
yang setara. Kerajaan Majapahit pun
mulai mengalami kemunduran.
Kondisi
Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya,
Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan
Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan
Islam di pesisir. Pada tahun 1526,
Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di
bawah pimpinan Raden Patah.
Dalam
struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai penjelmaan dewa dan
memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Roda pemerintahan dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat
raja, dan beberapa pejabat pemerintah.
Sebelum menduduki jabatan raja,
putra mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai raja muda (Rajakumara atau
Yuwaraja). Contohnya,
sebelum dinobatkan menjadi raja, Hayam Wuruk lebih dahulu diangkat sebagai
Rajakumara yang berkedudukan di Jimna. Raja
juga dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu. Tugas
lembaga ini adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja.
Anggota
dewan ini adalah para sanak saudara raja. Untuk masalah-masalah keagamaan, raja
dibantu oleh dewan yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan bertugas
menangani urusan agama Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan bertugas menangani
urusan agama Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh Dharma
Upapati, yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan, i
Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat
keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.
Tiga lembaga pemerintahan tingkat
atas di Majapahit sebagai berikut.
a) Sapta Prabu, merupakan sebuah
dewan kerajaan. Anggota dewan ini adalah keluarga raja yang bertugas mengurusi
soal keluarga raja, penggantian mahkota, dan urusan-urusan negara yang
berhubungan dengan kebijaksanaan negara.
b) Dewan Menteri Besar, menerima
perintah raja. Anggotanya berjumlah lima orang dan dipimpin oleh Mahapatih
Gajah Mada. Dewan ini bertugas mengepalai urusan tata negara merangkap urusan
angkatan perang dan kebijaksanaan.
c) Dewan Menteri Kecil, melanjutkan
perintah raja. Beranggotakan tiga orang dan bertugas sebagai pelaksana
kebijaksanaan raja.
Di tingkat
tengah terdapat pemerintahan daerah yang dikepalai oleh bupati. Daerah ini
biasanya disebut mancanegara. Adapun di tingkat bawah terdapat pemerintahan
desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di samping itu, masih ada jabatan
raja-raja daerah atau disebut Paduka Bhatara. Mereka memerintah negara-negara
daerah jajahan dibantu sejumlah pejabat daerah. Raja Majapahit juga dibantu
oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i Sirikan. Biasanya
yang diangkat untuk menduduki jabatan ini adalah putra raja.
Mahamenteri
i Hino memiliki kedudukan paling tinggi karena di samping memiliki hubungan
erat dengan raja, ia juga dapat mengeluarkan prasasti-prasasti. Para maha
menteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi
kerajaan yang merupakan badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas
lima orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung,
Rakryan Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang
Panca ri Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.
Zaman
Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit
dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman
Majapahit akhir. Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu
Tantular, kitab Arjuna Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama
(anonim), dan kitab Parthayajna (anonim).
Karya sastra
zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang (kidung)
dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab
Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab
Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka
menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe
tentang Pemberontaan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama
berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Vsana Jawa menceritakan
tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan
tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah, kitab
Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab Korawasrama.
Jenis peninggalan kebudayaan yang
lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi. Candi-candi peninggalan Majapahit,
antara lain, candi Sumberjati, candi Sanggapura, candi Panataran, dan candi
Pari di dekat Porong. Candi Pari memiliki keistimewaan, yaitu arsitekturnya
memperlihatkan adanya langgam bangunan dari Campa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar